Rabu, 26 Oktober 2011

Bahaya Swastanisasi Air Di Depan Mata

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”  Itulah buah fikiran para pendiri bangsa tentang bagaimana mengatur perekonomian. Gagasan itu dituangkan dalam konstitusi nasional kita: Pasal 33 UUD 1945 ayat (3).

Namun, setelah 66 tahun gagasan itu dikonstitusikan, para penyelenggara negara malah mengabaikannya sama sekali. Penyelenggara negara saat ini justru memilih menjalankan gagasan-gagasan ekonomi liberal. Padahal, sebagaimana sudah dikhawatirkan para founding father,  gagasan ekonomi liberal tidak cocok dengan cita-cita untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.

Satu hal yang paling mengkhawatirkan sekarang adalah soal pengelolaan air. Sejak era neoliberalisme mendominasi pemikiran dan kebijakan ekonomi di Indonesia, konsep tentang pengelolaan air mulai mengarah pada privatisasi. Dan ini makin jelas dengan disahkannya UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

UU tersebut menjadi payung hukum pelaksanaan privatisasi air di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan swasta dalam pengelolaan dan pelayanan air di Indonesia semakin besar. Di Jakarta, privatisasi layanan air bahkan sudah dimulai sejak tahun 1998. Saat ini, pengolaan air bersih di Jakarta dikuasai oleh dua korporasi asing, yaitu Suez Environnement (Perancis) dan Thames Water (Inggris).

***

Privatisasi air juga sudah berjalan di Makassar. Walikota Makassar yang sekarang ini, Ilham Arief Siradjuddin, adalah pendukung kuat ide dan kebijakan privatisasi. Ia bahkan menganggap privatisasi akan menguntungkan PDAM.

Tetapi angan-angan—mungkin juga tipuan—ilham Arief itu tidak terbukti. Setelah menjalin hubungan dengan swasta, PDAM Makassar malah semakin terbebani utang dan pembiayaan. “Setelah bekerjasama dengan swasta, PDAM kekurangan dana sebesar Rp33 milyar,” kata Bastian Lubis, seorang pengamat kebijakan publik di Makassar, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Malapetaka Privatisasi Air di Makassar” di warkop Cappo, Makassar.

Akibatnya, untuk menutupi “bolong” tersebut, PDAM pun menaikkan tariff air secara agressif. Kenaikan pertama terjadi pada tahun 2006, dimana PDAM Makassar menaikkan tariff secara signifikan: dari Rp1000 menjadi Rp2750.

Sudah terpojok begitu, PDAM tetap saja ngotot melanjutkan agenda privatisasi. Beberapa instalasi pengolahan air (IPA) di Makassar sudah diserahkan kepada swasta: PT. Traya. Persoalan pun makin bertambah parah.

Akhirnya, pada Juli 2011 lalu, PDAM kembali menaikkan tariff secara signifikan, yakni 25%. Sementara di masyarakat, yang sejak awal sudah terbebani dengan berbagai biaya ekonomi, kenaikan tariff dirasa diatas 100%.  Bahkan kenaikan untuk kategori lembaga publik diperkirakan mencapai 1108%. Itupun baru kenaikan tahap pertama. Akan ada lagi kenaikan pada 2012 dengan 10%, dan kemudian kenaikan pada 2013 sebesar 15%.

Padahal, untuk sekarang saja, kenaikan ini sudah sangat membebani rakyat banyak dan lembaga publik. “tariff air di Makassar saat ini merupakan yang termajal di Indonesia, bahkan mungkin dunia,” ungkap Bastian Lubis.

Ia pun dengan tegas menolak kebijakan privatisasi air itu.

Sementara itu, Babra Kamal, yang mewakili Partai Rakyat Demokratik (PRD), berusaha menghubungkan agenda privatisasi air itu dengan kebijakan umum pemerintah di bidang ekonomi dan politik.

“Ini adalah tuntutan dari neoliberalisme. Semua sektor kehiduan, termasuk soal air, hendak diserahkan kepemilikannya kepada swasta,” tegasnya.

Babra menganggap konsep privatisasi sebagai bentuk perampasan dan pengambil-alihan kekayaan publik oleh segelintir korporasi. Tidak hanya itu, kata alumnus jurusan perikanan Unhas ini, konsep privatisasi telah menghapus peran negara sebagai sarana memperjuangkan kesejahteraan sosial.

Jika digeledah lebih jauh lagi, kata Babra, privatisasi membuat tanggung jawab negara diserahkan kepada rakyat. Rakyat pun harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. “Ini sebetulnya pelanggaran terhadap konstitusi. Sebab konstitusi kita menggariskan bahwa negara adalah alat untuk mencapai tujuan. Sehingga peran negara bersifat wajib,” katanya.

Babra menganggap privatisasi air bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Anehnya, ada Undang-Undang yang membolehkan privatisasi, yaitu UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. “Seharusnya UU yang lebih rendah tidak bisa bertentangan atau berlawanan dengan UU yang lebih tinggi,” tegasnya.

Ia pun mengurai kegagalan privatisasi air di berbagai negara. Bahkan, dalam kasus Bolivia, privatisasi air telah memicu kebangkitan perlawanan rakyat. “Di sana terjadi apa yang disebut ‘water war’. Dan, gerakan rakyat bangkit untuk merebut kembali air sebagai milik rakyat,” ujarnya.

Di Indonesia, kata Babra, privatisasi air hanya membuahkan kenaikan tariff, tetapi sama sekali tidak ada perbaikan kualitas layanan. Bahkan dianggapnya makin bertambah buruk. Di Jakarta, misalnya, 37% masyarakat DKI yang belum menikmati air bersih. Sementara laporan BPS Jakarta menyebutkan, layanan perpipaan air di Jakarta baru mencapai 24,18%. Hasil riset Kesehatan Dasar 2010 Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya 18,3 persen warga Jakarta yang memiliki sambungan air perpipaan terlindungi. Sedangkan, sekitar 90 persen lebih air tanah di Jakarta mengandung bakteri E-coli.

Oleh karena itu, di penghujung diskusi Babra mengajak berbagai elemen pergerakan rakyat untuk bergabung dalam gerakan nasional pasal 33 UUD 1945. “Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 bermaksud mengembalikan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ke tangan rakyat,” tegasnya.

Antonio Gramsci dan Hegemoni

Antonio Gramsci adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah teori Marxis. Sementara Karl Marx dan Friedrich Engels memberikan analisis menyeluruh tentang kapital pada tingkat sosial dan ekonomi - menunjukkan bagaimana kapital mengantagoniskan kelas pekerja dan menyebabkan krisis - Gramsci melengkapi hal tersebut dengan suatu teori canggih tentang ranah politik dan bagaimana hal itu secara organik/dialektik berhubungan dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Ia memberikan teori tentang bagaimana proletariat harus mengorganisir secara politik bila hendak secara efektif merespon krisis dan kegagalan kapital, dan menghadirkan perubahan revolusioner.

Kebetulan, inovasi ini terbukti bukan hanya menarik perhatian kaum Marxis, tapi juga mereka yang berada di luar bentuk-bentuk politik progresif, dari gerakan hak-hak sipil (civil rights movement), politik gender, hingga perjuangan ekologis kontemporer. Pendekatannya terbukti begitu populer dan secara umum dapat diadaptasikan karena Gramsci sendiri adalah seorang aktivis dan kepedulian fundamentalnya adalah terhadap strategi progresif. Maka meskipun dalam artikel ini saya berencana memberikan gambaran umum tentang teori hegemoni Gramsci dan sebab-sebab di balik formulasinya, yang penting adalah agar kita meneruskan ini dengan memikirkan bagaimana kita dapat menggunakan konsep-konsep ini secara strategis dalam perjuangan kita.

Apa itu hegemoni?

Tampaknya tidaklah pantas memulai diskusi ini dengan bertanya "Apa itu hegemoni?" Ini rupanya susah untuk dijawab ketika kita membicarakan Gramsci, karena, setidaknya dalam The Prison Notebooks, ia tidak pernah memberikan definisi yang pas terhadap istilah itu. Ini mungkin alasan utama kenapa terdapat begitu banyak ketidak-konsistenan dalam literatur hegemoni - orang cenderung membentuk definisinya sendiri, berdasarkan pembacaan mereka sendiri terhadap Gramsci dan sumber-sumber lainnya. Yang menjadi masalah di sini adalah bila seseorang membaca Gramsci secara setengah-setengah maka definisi mereka pun seperti itu.

Contohnya, Martin Clark (1977, p.2) mendefinisikan hegemoni sebagai "cara kelas penguasa mengontrol media dan pendidikan". Meskipun definisi ini mungkin lebih sempit dari biasanya, ia mencerminkan kesalahan-pembacaan yang biasa terjadi terhadap konsep tersebut, yakni bahwa hegemoni adalah cara kelas penguasa mengontrol institusi-institusi yang mengontrol atau mempengaruhi pemikiran kita. Walau demikian, kebanyakan literatur hegemoni di kalangan akademik dan aktivis mengambil sudut pandang yang sedikit lebih lebar dari ini, dengan menyertakan lebih banyak institusi dalam pelakasanaan hegemoni - setidaknya menyertakan juga militer dan sistem politik. Problemnya adalah bahkan ketika institusi-institusi ini diperhitungkan, fokusnya cenderung eksklusif kepada kelas penguasa, dan metode-metode kontrolnya. Hegemoni sering kali digunakan untuk menggambarkan cara kelas-kelas kapitalis menginfiltrasi pikiran rakyat dan menerapkan dominasinya. Yang luput dari definisi ini adalah Gramsci tidak hanya menggunakan istilah "hegemoni" untuk menggambarkan aktivitas kelas penguasa, ia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan pengaruh yang diberikan oleh kekuatan-kekuatan progresif. Dengan mencamkan hal ini, kita dapat melihat bahwa hegemoni seharusnya didefinisikan sebagai hal yang dilakukan bukan saja oleh kelas penguasa, faktanya ia adalah proses di mana kelompok-kelompok sosial - apakah mereka progresif, regresif, reformis, dsb. - meraih kekuasaan untuk memimpin, bagaimana mereka memperluas kekuasaan mereka dan mempertahankannya.

Untuk memahami apa yang coba dicapai oleh Gramsci ketika mengembangkan teori hegemoninya, kita butuh melihat konteks historis yang ia hadapi maupun perdebatan dalam pergerakan di masa itu. Istilah "hegemoni" sudah umum digunakan oleh lingkaran sosialis sejak awal abad 20. Penggunaannya menunjukkan bahwa bila suatu kelompok digambarkan sebagai "hegemonik" maka ia menempati posisi kepemimpinan dalam suatu ranah politik tertentu (Boothman, 2008).

Penggunaan istilah gegemoniya (istilah Rusia untuk hegemoni, sering diterjemahkan sebagai "vanguard") oleh Lenin tampak menyiratkan suatu proses yang lebih mirip dengan apa yang digambarkan oleh Gramsci. Dalam upayanya mengkatalisis Revolusi Rusia, Lenin (1902/1963) melakukan pengamatan bahwa ketika dibiarkan mengurus sendiri, kaum pekerja cenderung hanya mencapai kesadaran serikat buruh, memperjuangkan keadaan yang lebih baik dalam sistem yang ada. Untuk menghadirkan perubahan revolusioner, ia berargumen bahwa kaum Bolshevik perlu menempati posisi hegemonik dalam perjuangan menentang rejim tsaris. Ini artinya bukan saja memberdayakan berbagai serikat pekerja dengan menyatukan mereka, tapi juga melibatkan semua "strata oposisi" dalam masyarakat ke dalam gerakan, menarik hubungan-hubungan di antara semua bentuk "penindasan politik dan kesewenang-wenangan otokratik" (Lenin, 1963, pp 86-87).

Namun, dalam periode paska-revolusioner implikasinya berubah. Lenin berargumen bahwa hal-hal krusial untuk mendirikan "hegemoni proletariat" adalah (a) kaum proletariat perkotaan mempertahankan aliansinya dengan kaum tani pedesaan (yang merupakan mayoritas penduduk Rusia) untuk mempertahankan kepemimpinan nasional dan (b) keahlian kaum kapitalis lama digunakan, dengan memaksa mereka untuk secara efektif mengelola industri-industri negara. Kedua proses kepemimpinan ini yang dilakukan via konsensus dan penggunaan paksaan dalam pengembangan hegemoni akan memainkan peran yang krusial dalam teori Gramsci. Dari tahun 1922-23 Gramsci berada di Rusia ketika perdebatan-perdebatan ini sedang menggelora dan setelah masa-masa inilah kita melihat hegemoni mulai menempati peran sentral dalam tulisan-tulisannya.

Italia

Di samping pengaruh yang diakibatkan oleh jalannya peristiwa di Rusia, Gramsci juga dipengaruhi oleh pengalaman politiknya sendirinya. Gramsci sangat terlibat dalam perjuangan melawan kapitalisme dan fasisme di Italia dan untuk beberapa waktu ia merupakan pemimpin Partai Komunis Italia. Dalam periode setelah Perang Dunia I, terdapat optimisme yang besar di Eropa, dan khususnya di Italia, karena saat itu rakyat melihat kebiadaban yang dilakukan oleh kelas-kelas penguasa, sementara di Rusia suatu alternatif sedang berkembang, sehingga semacam revolusi kaum pekerja di Eropa pun mulai tampak di permukaan.

Gramsci tentunya meyakini optimisme ini. Peristiwa yang berlangsung di awal 1920an tampak mengonfirmasikan ini. Ketegangan dalam semua strata masyarakat adalah tinggi, terdapat agitasi massa dan rakyat membentuk dewan-dewan pabrik dan koperasi pekerja. Tapi terlepas dari mobilisasi yang intens ini, itu semua padam dengan segera. Serikat-serikat buruh terkooptasi, koperasi pekerja menjadi tersingkir dan tak kompetitif. Rakyat biasa diintimidasi oleh elit atau terpesona oleh daya tarik retorika fasis.

Gramsci dan beberapa lainnya membentuk Partai Komunis Italia untuk mencoba membangkitkan kembali pergerakan, tapi nyatalah bahwa rakyat telah pupus harapan akibat kegagalan di tahun-tahun sebelumnya untuk bisa terlibat kembali. Suara untuk Partai Komunis begitu sedikit dan mengecewakan. Ketika Gramsci ditahan pada 1926 sebagai bagian dari tindakan darurat Mussolini, ia mendapatkan banyak waktu di penjara untuk merefleksikan apa yang terjadi dan apa yang salah. Bagaimana kelas penguasa dapat begitu efektif mencekik potensi gerakan, dan apa yang dibutuhkan oleh kekuatan-kekuatan progresif untuk memobilisasi massa sehingga mereka mampu membawa perubahan fundamental dalam masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya menjadi sentral dalam teori hegemoni Gramsci.

Tahapan

Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam The Prison Notebooks Gramsci mengacu pada hegemoni untuk menggambarkan aktivitas kelompok yang sedang dominan maupun kekuatan-kekuatan progresif. Bagi Gramsci, apa pun kelompok sosialnya, kita dapat melihat bahwa terdapat tahapan perkembangan bersama tertentu yang harus mereka lalui sebelum mereka dapat menjadi hegemonik. Mengambil dari Marx, persyaratan pertama adalah ekonomi: bahwa kekuatan material telah cukup dikembangkan sehingga orang-orang di dalamnya mampu memecahkan problem-problem sosial yang paling mendesak. Gramsci kemudian berlanjut menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan politik yang harus dilalui suatu kelompok sosial agar dapat mengembangkan gerakan yang dapat memulai perubahan.

Tahap pertama dari ini disebut "korporat-ekonomis". Seorang korporatis mungkin adalah apa yang kita pahami sebagai individu yang mengutamakan kepentingannya sendiri. Seseorang berafiliasi dengan tahap korporat-ekonomis sebagai fungsi dari kepentingan pribadinya, menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan orang lain untuk memperoleh keamanan mereka sendiri. Serikat-buruhisme mungkin merupakan contoh terjelas untuk ini, setidaknya dalam kasus di mana orang bergabung dengan serikat buruh karena takut gajinya dipotong, penyusutan dsb. Dalam istilah ini, kita juga dapat memasukkan kerjasama jangka-pendek antara kapitalis-kapitalis yang sesungguhnya saling berkompetisi satu sama lainnya. Hal yang ditekankan adalah: pada tahap perkembangan historik ini, kelompok yang bersangkutan belum memiliki rasa solidaritas di antara anggota-anggotanya.

Dalam tahap kedua, anggota-anggota kelompok mulai menyadari bahwa terdapat wilayah kepentingan yang lebih luas dan bahwa terdapat orang lain yang berbagi kepentingan dengan mereka dan akan terus membagi kepentingan-kepentingan ini dalam masa depan yang terjangkau. Dalam tahap inilah rasa solidaritas berkembang, tapi solidaritas ini masihlah hanya berbasiskan kepentingan ekonomi bersama. Tidak terdapat pandangan dunia bersama atau apa pun semacam itu. Solidaritas seperti ini dapat mengarah pada upaya-upaya untuk menggalakkan reformasi-reformasi di bidang hukum untuk memperbaiki posisi kelompok tersebut dalam sistem yang ada, tapi belum ada kesadaran tentang bagaimana mereka, dan yang lainnya, dapat diuntungkan oleh pembentukan sistem yang baru.

Hanya dengan melewati tahap ketiga maka hegemoni dapat benar-benar menjadi mungkin. Dalam tahap ini, anggota-anggota kelompok sosial mulai menyadari kepentingan dan kebutuhan untuk menjangkau melampaui apa yang dapat mereka lakukan dalam konteks kelas-kelas mereka tersendiri. Yang dibutuhkan adalah agar kepentingan mereka turut diusung oleh kelompok-kelompok lainnya yang tersubordinasi seperti halnya mereka. Inilah yang dipikirkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik dalam membentuk aliansi dengan kaum tani - bahwa hanya dengan membuat revolusi Bolshevik juga menjadi revolusi kaum tani, di mana kaum tani juga melihat itu sebagi revolusi mereka, maka kaum proletariat perkotaan dapat mempertahankan posisi kepemimpinannya.

Gramsci memahami bahwa dalam konteks historis yang sedang dikerjakannya, berjalannya suatu kelompok sosial dari reformisme atas kepentingan pribadi menuju hegemoni nasional dapat terjadi secara efektif via partai politik. Dalam formulasi yang kompleks ini, beragam ideologi kelompok-kelompok yang beraliansi akan berkumpul. Tak dielakkan lagi akan terjadi konflik antara ideologi-ideologi ini, dan melalui proses perdebatan dan pertarungan, satu ideologi, atau kombinasi penyatuan darinya, akan muncul mewakili kelas-kelas yang beraliansi. Ideologi ini dapat dibilang hegemonik, kelompok yang mewakilinya telah meraih posisi hegemonik atas kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Dalam tahap ini, partai mencapai kedewasaan dengan meraih kesatuan antara tujuan ekonomi dan politik maupun kesatuan moral dan intelektual - dapat dikatakan sebagai saling berbagi suatu pandangan dunia.

Dengan persatuan ini di belakangnya, partai mentransformasi masyarakat untuk meletakkan persyaratan bagi ekspansi kelompok hegemonik. Negara menjadi mekanisme untuk melakukan ini: kebijakan dihasilkan dan ditegakkan untuk memungkinkan kelompok hegemonik mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan menciptakan simetri antara tujuannya dan tujuan kelompok-kelompok lainnya. Meskipun tujuan-tujuan ini diformulasikan dengan pemikiran untuk memajukan kepentingan satu kelompok, walau demikian tujuan-tujuan tersebut harus dialami oleh penduduk sebagai kepentingan semua orang. Agar ini berjalan efektif, kelompok hegemonik harus memiliki suatu bentuk tertentu dalam menangani kepentingan kelas-kelas yang tersubordinasi. Kepentingan yang dominan tidak dapat dengan begitu saja diterapkan kepada mereka.

Hegemoni Progresif

Meskipun Gramsci menganggap langkah-langkah pragmatis tersebut dibutuhkan oleh tiap kelompok yang hendak meraih kekuasaan, ia juga memiliki kepedulian etis yang sangat mendalam terhadap cara berjalannya proses tersebut. Dalam pengertian ini, kita dapat menemukan dalam karya Gramsci perbedaan kualitatif antara pelaksanaan hegemoni oleh kelompok regresif dan otoriter di satu pihak, dan kelompok-kelompok sosial di pihak lainnya. Dalam tingkat etika, Gramsci di atas segalanya ialah seorang anti-dogmatis yang meyakini bahwa kebenaran tak dapat diterapkan begitu saja dari atas-ke-bawah, tapi hanya melalui dialog yang konkrit dan simpatik dengan rakyat. Kalau hegemoni regresif melibatkan penerapan serangkaian nilai-nilai yang tak ternegosiasikan kepada rakyat, terutama melalui paksaan (koersi) dan penipuan, hegemoni progresif akan berkembang dengan persetujuan (konsen) masyarakat yang diraih secara demokratis. Untuk memperjelas perbedaan-perbedaan ini, sisa dari artikel ini akan mengelaborasikan berbagai cara Gramsci membicarakan tentang hegemoni kelas-kelas penguasa saat ini maupun yang lalu dan bagaimana ini bertolak belakang dengan hegemoni progresif yang diharapkan untuk disaksikannya di masa depan.

Jelaslah bila kita menelusuri sejarah, kelas kapitalis memegang hegemoninya terutama melalui berbagai bentuk paksaan (koersi), yang berkisar dari penempatan militer secara langsung hingga bentuk-bentuk yang lebih halus, contohnya, menggunakan kekuatan ekonomi untuk menyingkirkan lawan politik. Namun, adalah suatu kesalahan besar untuk berpikir bahwa kapitalisme tidak pula bergantung pada pembangunan persetujuan atau konsensus. Bahkan dapat diargumentasikan bahwa pembangunan-konsensus kapitalisme lah yang dari sudut pandang strategis perlu kita beri perhatian lebih mendalam, karena di tingkat inilah kita berkompetisi dengan mereka. Sifat dan kekuatan konsensus ini beragam. Ada cara-cara di mana kapitalisme sukses secara aktif menjual visinya kepada kelas-kelas yang tersubordinasi. Ini bukan berarti sekedar menjual visi terdistorsi tentang suatu masyarakat yang bebas, merdeka, inovatif, dsb, tapi juga menggunakan ide-ide ekonomi borjuis untuk meyakinkan kelas pekerja untuk meyakini bahwa, contohnya, meskipun kebijakan kapitalis adalah kepentingan utama kelas kapitalis, mereka pun akan meraih keuntungan via dampak tetesan-ke-bawah (trickle down effects). Kapitalisme juga dapat memenangkan persetujuan atau konsensus di antara mereka yang mungkin tidak mempercayai bahwa sistem yang ada adalah untuk kepentingan mereka, namun meyakini bahwa tidak ada alternatif atau bahwa alternatif akan lebih buruk - dengan kata lain, dengan menggalakan keyakinan bahwa sistem yang ada merupakan suatu keharusan yang dibutuhkan (necessary evil).

Abad ke-20 menyaksikan kapitalisme memperluas secara massif bentuk konsensus ini, terutama melalui kontrol korporasi dalam media dan periklanan. Di Amerika Serikat khususnya, penggalakkan "American dream", dan semua komoditas tak bermanfaat yang dibutuhkan untuk meraihnya, tidak hanya berguna untuk menggenjot konsumsi dan sekaligus menguntungkan kepentingan ekonomi kaum kapitalis; ia juga menjual suatu gaya hidup yang hanya dapat diberikan oleh kapitalisme. Ini tentunya dibantu selama Perang Dingin dengan berbagai upaya simultan untuk mencap tiap alternatif terhadap kapitalisme sebagai perbudakan. Kelas kapitalis menentang tiap kebijakan yang berupaya menyaingi media milik korporasi dengan menggunakan kekuatan politik hegemoniknya untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi pembangunan konsensus lebih jauh, yang kemudian akan memperluas kepentingan mereka. Kelompok hegemonik akan terus berjuang dengan cara-cara ini untuk mencapai tingkat konsensus yang lebih besar - dalam kasus ini dengan mengunci rakyat ke dalam cara berpikir yang kaku dan menggilas tiap optimisme.

`Sindikalisme’

Beberapa bentuk serikat-buruhisme tertentu dapat juga menjadi contoh hegemoni kapitalis. Apa yang Gramsci sebut sebagai "sindikalisme" - pandangan bahwa kondisi kelas pekerja dapat diangkat secara maksimal dengan meningkatkan kekuatan serikat buruh - mencerminkan suatu kelompok sosial (para pekerja) yang terperosok dalam tahap perkembangan korporat-ekonomis akibat pengaruh hegemonik kapitalis, terutama para pembela perdagangan bebas (free trade), dalam ranah ideologi. Para pembela perdagangan bebas berargumen bahwa negara dan masyarakat sipil harus tetap terpisah, bahwa negara harus keluar dari ranah ekonomi, yang berfungsi secara otonom - serahkan itu kepada "tangan pasar yang tak kasat mata" dan seterusnya.

Kaum sindikalis mengadopsi asumsi tentang pemisahan antara ranah sosial dan ekonomi di satu sisi dan ranah politik di sisi lainnya, dan mengasumsikan bahwa mereka dapat membawa perubahan radikal tanpa perwakilan politik. Hasil konkrit dari ini adalah mereka hanya dapat bernegosiasi untuk perbaikan-perbaikan yang berpengertian sempit dalam ranah ekonomi, tanpa perubahan kebijakan yang memungkinkan kemenangan-kemenangan ini meraih basis yang lebih permanen. Sementara para pembela perdagangan bebas justru secara aktif terlibat dalam penentuan kebijakan (meskipun klaim mereka mengatakan lain) yang menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan kelas kapitalis!

Namun, ketika kepentingan kelas kapitalis secara langsung terancam, kekuatan hegemonik tak pelak lagi beralih ke paksaan. Tidak ada lagi ruang untuk menegosiasikan ini, dalam tatanan hegemonik yang ada. Dalam tingkat sederhana, ini dapat berarti membuat legislasi yang memungkinkan polisi menyerang pekerja yang melaksanakan aksi-aksi industrial, yang mengancam profit secara langsung. Tapi ancaman terbesar terhadap kapitalis adalah perkembangan alternatif hegemonik dalam masyarakat sipil. Ancamannya adalah rakyat akan beralih dari fase korporat-ekonomis, dan menyadari bahwa kepentingan mereka bersinggungan dengan semua pihak yang dipinggirkan oleh kapitalisme dan melawan balik, bahwa mereka akan menyadari kekuatan mereka dan menuntut perubahan radikal.

Karena ini merupakan ancaman terbesar terhadap kapital, cara paling efektif baginya untuk menggunakan paksaan adalah dengan memecah belah aliansi-aliansi progresif antara kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Ketika dihadapkan pada kekerasan dan ancaman-ancaman ekonomi, orang lebih tidak mampu menghubungkan dirinya dengan kelompok. Kekuatiran untuk bertahan hidup berarti bahwa tiap orang harus mempertahankan kepentingan mereka secara individual. Hegemoni progresif dari pergerakan menjadi terhambat, karena tiap orang dipaksa untuk bertindak secara korporatis. Kelas penguasa juga dapat berupaya memecah belah gerakan secara kasar dengan memanas-manasi perbedaan ideologi, contohnya dengan berseru tentang agama.

Demokrasi dan konsensus

Gramsci memandang bahwa perkembangan hegemoni progresif melibatkan lebih banyak keterbukaan, demokrasi dan konsensus, dibandingkan paksaan. Kalau pun terdapat paksaan, itu seharusnya ada untuk melawan kekuatan-kekuatan reaksioner yang hendak menjegal perkembangan masyarakat. Ini akan memberikan ruang kepada massa untuk meraih potensi mereka. Bagian yang besar dari The Prison Notebooks diberikan untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan hegemoni semacam ini, dan banyak pemikir Gramscian sejak itu mendedikasikan diri mereka untuk menjawab teka-teki ini.

Sebagai awalan, kita dapat mengatakan bahwa hegemoni yang ada mencoba menjaga agar kelompok-kelompok yang dikecewakan dan tersubordinasi tetap tercerai berai, hegemoni progresif yang hendak bangkit harusnya mempersatukan mereka. Gramsci tentunya melihat tantangan yang ada di sini. Dalam situasi historisnya sendiri (dan tak diragukan lagi masih demikian pada masa kita kini) terdapat rintangan-rintangan yang cukup besar antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam hal pengalaman, bahasa dan pandangan-dunia. Namun, yang sama-sama dimiliki oleh semua kelompok ini adalah tidak ada dari mereka yang memiliki perwakilan politik yang memadai dalam sistem yang ada. Gramsci menyebut kelompok-kelompok yang tak memiliki perwakilan politik ini "subalternus". Tantangan kelompok hegenomik adalah memberikan kritik terhadap sistem yang ada dengan sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok subalternus tersebut menyadari kesamaan nasib mereka dan kemudian "bangkit" ke dalam kehidupan politik partai. Untuk memfasilitasi penggabungan oleh pihak-pihak lainnya ini, Gramsci menekankan perlunya kelompok hegemonik untuk bergerak melampaui pemahaman kepentingannya sendiri yang korporatis-ekonomis, mengorbankan beberapa tujuan ekonomi yang mendesak demi kesatuan moral dan intelektual yang lebih mendalam. Ia harus meninggalkan prasangka-prasangka dan dogma-dogma tradisionalnya dan mengambil pandangan yang lebih luas bila hendak memimpin sambil mendapat kepercayaan dan konsensus (keduanya dibutuhkan untuk mengalahkan kekuasaan yang ada).

Bila kekuatan yang segaris ini hendak memiliki pengaruh historis yang penting, mereka harus langgeng dan secara organik/menyatu berhubungan dengan kondisi-kondisi di lapangan, bukan sekedar konvergensi sesaat. Untuk mengembangkan momentum massa, mereka harus mendemonstrasikan, baik dalam imajinasi rakyat maupun dalam aksi, bahwa mereka mampu meraih kekuasaan dan melaksanakan tugas-tugas yang mereka tetapkan sendiri. Tugas-tugas ini harus secara efektif menjadi tugas setiap orang - mereka harus mewakili tiap aspirasi, dan menjadi pemenuhan dari tugas gerakan-gerakan yang tidak berhasil dalam generasi sebelumnya.

Demonstrasi kekuasaan dan pengaruh historis seperti itu tidak dapat dicapai melalui aksi pasif. Contoh yang Gramsci gunakan di sini adalah pemogokan umum. Bila gerakan tersebut sekedar mewakili penolakan terhadap sistem yang ada atau non-partisipasi terhadapnya, maka itu akan segera berfragmentasi menjadi ide-ide unik tiap individu tentang apa yang harus menggantikan sistem yang ada justru pada saat ketika persatuan adalah yang paling dibutuhkan. Ia harus merupakan perwujudan aktif kehendak kolektif, yang terkristalisasi dalam suatu agenda perubahan yang konstruktif dan konkrit. [garis miring tebal oleh penerjemah] Jelaslah ini bukan tugas mudah, dan Gramsci tentunya tidak berpandangan bahwa kita dapat menerapkan strategi-strategi ini seperti halnya mengikuti manual. Yang dibutuhkan adalah kerja sungguh-sungguh di lapangan untuk meletakkan medan-medan moral dan intelektual di mana perkembangan historis ini dapat muncul. Kita harus mengembangkan kesatuan, kesadaran dan kedewasaan gerakan, membuatnya menjadi kekuatan yang kuat dan kohesif, dan kemudian dengan sabar, dengan perhatian seksama terhadap kondisi kontekstual, menanti momen yang menguntungkan untuk menggunakan kekuatan ini.

Momen krisis

Momen ini adalah momen krisis dalam hegemoni dominan yang ada: momen di mana penduduk semakin melihat jelas bahwa kelas penguasa tidak lagi mampu menyelesaikan isu-isu paling mendesak bagi kemanusiaan. Asalkan kekuatan progresif dapat secara memadai memberikan alternatif pada saat ini dan kelas penguasa tidak mampu dengan segera membangun kembali konsensus, menjadi jelaslah bahwa kondisi di mana kelompok penguasa menjadi hegemonik mulai berlalu dan masyarakat dapat secara kolektif berkata "Kami tak membutuhkanmu lagi." Gramsci menyebut proses pembersihan sejarah ini "katarsis" di mana "struktur berhenti menjadi kekuatan eksternal yang menekan manusia, mengasimilasi manusia dan membuatnya pasif; dan ia ditransformasikan menjadi alat kebebasan, suatu instrumen untuk menciptakan bentuk etika-politik baru dan sumber inisiatif baru." (Ggramsci, 1971, p.367.)

Bagi Gramsci, kebutuhan akan transisi ini dari dunia sebagaimana apa adanya menuju kebebasan menciptakan dunia baru harus menjadi awalan dari semua strategi Marxis.

Jadi, apa yang ditawarkan Gramsci kepada kita? Penekanannya bahwa bentuk politik sosialis haruslah berupa keterbukaan, demokrasi dan pembangunan konsensus. Ini tentunya memberikan kita visi dan fokus yang lebih luas dan kita benar-benar perlu menginformasikan aktivitas semua kelompok politik. Bila bukan karena alasan etis, setidaknya karena dalam lingkungan saat ini, tanpa kesediaan untuk bekerja secara tulus membangun konsensus dengan lainnya, peluang keberhasilan kita akan sangat sempit. (Kita bukan kelas penguasa - kita tidak memiliki alat paksaan). Namun lebih dari ini, Gramsci memberikan kita cara berpikir; ia memberikan kita alat konseptual untuk membedah situasi politik yang kita hadapi, untuk memandangnya dalam konteks historis dan untuk memahami di mana-mana saja kita dapat menemukan persyaratan-persyaratan untuk mengembangkan kekuatan kita lebih jauh lagi.

[Trent Brown adalah mahasiswa doktoral di Universitas Wollongong dan anggota dari Friends of the Earth Illawarra]


Bibliography


Boothman, D. (2008).`` Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony’’. In R. Howson and K. Smith (Eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.

Clark, M. (1977). Antonio Gramsci and the Revolution that Failed. New Haven: Yale University Press.

Gramsci, A. (1926). ``Some aspects of the southern question’’ (V. Cox, Trans.). In R. Bellamby (Ed.), Pre-Prison Writings (pp. 313-337). Cambridge: Cambridge University Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Q. Hoare & G. N. Smith, eds. & trans. London: Lawrence and Wishart.

Howson, R. (2006). Challenging Hegemonic Masculinity. London: Routledge.

Howson, R. & Smith, K. (2008). Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.

Lenin, V. I. (1963). What is to be Done? S.V. Utechin & P. Utechin, trans. Oxford: Oxford University Press.

Budaya Sambatan dalam Masyarakat Samin

Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep merupakan salah satu kelompok etnik yang menetap secara tersebar dari wilayah pedalaman Jawa Tengah hingga bagian barat Jawa Timur. Dua tempat yang menjadi wilayah sentral bagi domisili masyarakat Samin adalah desa Klopodhuwur di Blora dan desa Tapelan di Bojonegoro (Hutomo,1996). Istilah Samin sendiri diambil dari nama leluhur mereka yakni Samin Surosentiko (1859-1914) atau Raden Kohar. Beliau adalah putra dari Raden Surowidjojo dan cucu Raden Mas Brotodiningrat, Bupati Sumoroto yang menjabat dari tahun 1802-1826.

Kisah mengenai masyarakat Samin atau Wong Sikep sebenarnya bermula ketika ayahanda dari Samin Surosentiko, yakni Raden Surowidjojo, yang meninggalkan kehidupan keningratan dan melakukan serangkaian tindakan yang merusak ketentraman para pejabat kolonial Belanda serta kaum priyayi yang menjadi kaki tangan kolonial. Raden Surowidjojo beserta kawanannya kerap merampok para pejabat Belanda dan antek-anteknya untuk kemudian membagikan hasil rampokan tersebut pada kaum pribumi yang melarat akibat kebijakan penjajah ketika itu. Kelompok mereka dinamakan Tiyang Sami Amin. Tindakan raden Surowidjojo ini mengingatkan kita akan kisah serupa seperti Robin Hood dari Eropa maupun Si Pitung dari tanah Betawi.

Raden Kohar, putra raden Surowidjojo, yang lahir pada tahun 1859, kelak meneruskan usaha ayahnya dalam perjuangan menentang kolonialisme dan membela wong cilik. Raden Kohar kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko atau Samin Anom (muda). Sementara Raden Surowidjojo dikenal dengan nama Samin Sepuh.

Perjuangan Raden Kohar dimulai pasca pemberlakuan kebijakan liberalisasi agraria oleh pemerintahan kolonial Belanda tahun 1870. Ketika itu, banyak hutan jati di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terkena program swastanisasi sehingga mengakibatkan jatuhnya penguasaan dan pengelolaan hutan-hutan tersebut ke tangan pemodal swasta asing. Sementara masyarakat yang berdomisili atau mencari penghidupan di kawasan hutan jati menjadi tergusur atau dikenai berbagai macam pajak oleh pihak pemerintah dan pemilik modal.

Dalam perjuangannya menentang pemerintah kolonial, raden Kohar juga mengembangkan suatu ajaran yang berbasiskan nilai-nilai kearifan lokal Jawa (Kejawen) yang disertai nuansa sinkretisme Hindu-Dharma dengan ajaran Islam versi Syekh Siti Jenar (tasawuf). Oleh karena itu, raden kohar atau Samin Surosentiko dipandang pula sebagai pemimpin spiritual bagi para pengikutnya. Bahkan pada tahun 1907, Samin surosentiko diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam yang akan membebaskan tanah Jawa dari belenggu penindasan kolonialisme oleh para pengikutnya. Banyak pihak yang menganggap bahwa Saminisme ini merupakan bagian dari gerakan mesianik ratu adil yang memang tengah marak dikalangan masyarakat Jawa ketika itu.

Hal menarik dari perlawanan raden kohar serta komunitasnya tersebut adalah karakternya yang anti kekerasan. Jadi perlawanannya lebih mengambil bentuk pembangkangan terhadap berbagai aturan yang ditetapkan pemerintah Belanda dan antek-anteknya, seperti menolak membayar pajak dan tetap tinggal di area hutan yang telah dikapling oleh para kapitalis asing. Manifestasi perlawanan juga mereka tunjukkan dengan berbicara kasar serta berlaku tidak sopan bila sedang berhadapan dengan pegawai pemerintahan. Bahasa yang mereka gunakan pun adalah bahasa Jawa Ngoko yang dianggap kasar oleh kalangan priyayi. Hal ini berlanjut hingga Indonesia merdeka kini, ketika mereka menolak membayar pajak serta mengikuti berbagai aturan pemerintahan yang mereka anggap tidak banyak berubah dari masa kolonial, yakni lebih berpihak pada kepentingan pemiliki modal dan mengabaikan masyarakat lokal. Penolakan mereka terhadap pembangunan pabrik semen PT. Semen Gresik oleh Pemprov Jawa Tengah di pegunungan Kendeng beberapa tahun silam merupakan salah satu contoh perlawanan mereka terhadap kebijakan pemerintah.
Gerakan Saminisme juga sering dikaitkan dengan ideologi anarkisme yang menolak semua bentuk intervensi otoritas kekuasaan dalam kehidupan komunitas. Tetapi ada pula yang mengidentifikasi Saminisme sebagai gerakan anti kekerasan yang sebenarnya tidak lumrah di tanah Jawa. Hal ini memperlihatkan bahwa di nusantara ini telah ada suatu bentuk gerakan non-violence yang menentang kolonialisme jauh sebelum gerakan serupa muncul di India yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi, dan akhirnya menjadi monumental dimata masyarakat dunia.

Sambatan sebagai Budaya Gotong Royong
Dalam sistem sosial nya, masyarakat Samin mempunyai tradisi unik berkaitan dengan kehidupan agraris yang mereka jalankan. Tradisi itu adalah Sambatan. Sambatan merupakan budaya gotong royong dalam proses produksi pertanian yang dilakukan masyarakat Samin. Inti dari budaya Sambatan ialah aktivitas saling membantu dalam suplai tenaga kerja yang dilakukan oleh beberapa rumah tangga Wong Sikep dengan berlandaskan prinsip timbal balik. Dalam kajian Antropologi Ekonomi hal ini lebih dikenal dengan istilah prinsip Resiprositas.

Prinsip resiprositas tersebut menggantikan pola pengupahan dalam bentuk uang atau barang yang biasa dijumpai dalam hubungan produksi aktivitas ekonomi konvensional. Bila suatu rumah tangga membutuhkan tenaga kerja, maka keluarga yang bersangkutan memohon bantuan dari rumah tangga lainnya. Sebagai imbalannya, keluarga yang telah dibantu pun akan mengerahkan tenaga kerja ketika rumah tangga yang dahulu menolongnya membutuhkan bantuan dalam aktivitas ekonominya. Namun tradisi Sambatan tidak hanya ada pada kegiatan ekonomi atau pertanian saja, tetapi juga berlaku ketika ada suatu keluarga yang sedang mengadakan hajatan atau membangun rumah.

Khusus ketika masuk masa panen, barulah imbalan barang yang berupa sebagian bahan pangan hasil panen diberikan oleh suatu keluarga kepada keluarga lain yang telah membantunya di masa lampau. Karena hampir seluruh keluarga dalam masyarakat Samin melakukan Sambatan, maka yang terjadi adalah saling membagi hasil panen antar rumah tangga sebagai ‘upah’ atas kontribusi masing-masing di masa lampau. Imbalan berupa hasil panen ini disebut Bawon. Bawon juga diberikan pada rumah tangga yang mengalami gagal panen namun tetap terlibat dalam Sambatan di masa lalu.

Tradisi Sambatan tetap bertahan di masa kini meskipun pasca masuknya arus modernisasi dan mekanisasi pertanian sebagai dampak dari Revolusi Hijau pada masa Orde Baru, masyarakat Samin yang semula hanya melakukan pola produksi subsisten kini mulai mengenal pertanian komersil. Namun hal tersebut tidak banyak merubah budaya sambatan dalam masyarakat Samin, yang tetap teguh memegang ideologi warisan leluhur ditengah gempuran kebudayaan asing. (Hiski Darmayana)

*) Penulis adalah kader GMNI Cabang Sumedang

Senin, 24 Oktober 2011

Nasionalisme dan Internasionalisme*

Lebih dari 200 tahun sudah seruan untuk suatu persaudaraan internasional seluruh manusia oleh Revolusi Perancis yang akbar itu, serta 80 tahun sudah pendirian Komunisme Internasional, apa yang tetap menjadi mimpi besar solidaritas internasional kaum tertindas? Bukankah nasionalisme selalu menjadi kekuatan penggerak utama politik dunia? Dan bagaimana kaum sosialis seharusnya mengaitkan diri?

Peran kontradiktif nasionalisme adalah salah satu paradoks terbesar di dalam sejarah abad 21. Dalam melayani negara dan kekuatan reaksioner, ideologi nasionalisme mendorong dan melegitimasi beberapa dari kejahatan terburuk di abad ini: dua perang dunia, genosida bangsa Armenia, Yahudi, dan Gipsi, perang kolonialis, bangkitnya fasisme dan diktator militer, represi brutal pergerakan progresif atau revolusioner dari Cina di tahun 1920-an hingga Indonesia di tahun 1960-an dan Argentina 1970-an.

Selain itu, atas nama pembebasan nasional, rakyat yang dijajah mendapatkan kemerdekaannya, dan beberapa dari pergerakan sosialis revolusioner yang paling radikal dan penting juga dapat memenangkan dukungan massa dan menang: di Yugoslavia, Cina, Indocina, Cuba, dan Nikaragua.


Paradoks lain yang membingungkan: meskipun nasionalisme telah menjadi faktor dominan dan membentuk politik di abad 20, revolusi terhebat pada masa kita, yakni Oktober 1917, tak berhutang apapun terhadap nasionalisme dan secara terang-terangan diarahkan melawan ‘pertahanan nasional atas Tanah Air (fatherland)” dalam perang melawan imperium Jerman. Terlebih lagi, tak pernah ada dalam sejarah gerakan buruh dan sosialis suatu organisasi massa dunia yang benar-benar berkomitmen pada internasionalisme, seperti yang ada di abad 20: Internasionale Ketiga (setidaknya selama tahun-tahun pertama pendiriannya).
Bagaimana paradoks ini seharusnya kita pahami? Dapatkah Marxisme memberikan perangkat teoritik bagi pemahaman semacam itu? Apakah kaum buruh dan kaum tertindas benar-benar tidak punya tanah air, seperti pemikiran Marx di tahun 1848? Seberapa jauh Ibu Pertiwi (Mother Earth) menjadi wawasan yang kongkrit bagi pembebasan sosial? Dan apakah perspektif bagi nasionalisme dan internasionalisme di abad dua puluh satu?
Setiap upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini harus memulainya dengan pendekatan dialektik terhadap masalah ini: persoalan nasional adalah hal yang kontradiktif, dan kontradiksinya bukanlah ekspresi dari ciri-ciri abadi sifat manusia, melainkan kondisi historis yang kongkrit.

Penting untuk membedakan secara hati-hati antara rasa identitas nasional, ikatan terhadap suatu kebudayaan nasional, kesadaran menjadi bagian dari komunitas nasional beserta masa lalu historisnya sendiri, dengan nasionalisme. Nasionalisme sebagai suatu ideologi terdiri dari semua elemen ini namun, juga, oleh elemen lain, yang bahan paling menentukannya adalah: posisi bahwa bangsa sebagai yangutama, fundamental, dan nilai sosial politik paling penting, dimana padanya yang lain—dalam satu dan lain cara—disubordinasikan. Hans Kohn, sejarawan terkenal nasionalisme modern, mendefiniskannya sebagai “sikap pandangan (state of mind), dimana kesetiaan utama individu dirasakan wajib kepada negara-bangsa’.[1] Ini merupakan definisi yang lumayan mencukupi—jika seseorang memasukkan ke dalamnya perjuangan untuk pendirian negara-bangsa—bahkan jika seseorang harus mengakui bahwa terdapat, setidaknya, beberapa pergerakan nasionalis (moderat) yang bertujuan hanya untuk otonomi teritorial dan kultural.

Tidak mudah mencari tahu kapan dan bagaimana sesungguhnya nasionalisme lahir. Beberapa penulis melihatnya sebagai kontemporer dengan kemunculan negara-bangsa modern di abad kelimabelas dan enambelas (Machiavelli!). Yang lain, seperti Kohn, mengaitkannya pada revolusi besar borjuis pertama: di Inggris di abad ketujuhbelas dan Perancis di tahun 1789 untuk pertama kalinya negara ‘tak lagi menjadi negara raja: ia menjadi negara rakyat, negara nasional, suatu Tanah Air’.[2] Terakhir  Tom  Nairn mencoba membuktikan bahwa nasionalisme muncul di abad kesembilanbelas (sebagai hasil dari perkembangan tak merata kapitalisme) di negeri pinggiran (peripheral) (Jerman, Itali dan Jepang) dan hanya kemudian mencapai “areal inti” (Inggris dan Perancis);[3] namun kronologi aneh ini terlalu sembarangan, dan tampaknya mengabaikan fakta-fakta sejarah yang begitu terkenal, seperti dimensi patriotik Revolusi Perancis dan perang Napoleonik. Dalam banyak hal tidak diragukan bahwa selama berabad-abad tujuan politis bukanlah bangsa atau negara-bangsa, melainkan bentuk-bentuk lain organisasi politik dan sosial: klan, negara-kota, tuan feodal, gereja, dinasti kerajaan, dan kerajaan multi-nasional. Meskipun beberapa contoh dapat ditemukan pada kejadian sebelumnya (Hebrew kuno atau Yunani kuno), itu semua merupakan tipe dan substansi yang agak berbeda dari nasionalisme modern.

Sosialisme Marxis secara fundamental menentang nasionalisme. Pertama-tama karena ia menolak memandang bangsa sebagai suatu blok yang seragam/sama: semua bangsa terpecah ke dalam kelas-kelas sosial yang berbeda, dengan kepentingan yang berbeda, dan konsepsi identitas nasional yang berbeda. Namun di atas segalanya, Marxisme menolak ideologi nasionalis dan skala nilai-nilainya, karena kesetiaan utamanya bukanlah pada bangsa manapun, namun pada subjek historis internasional (proletariat) dan pada suatu tujuan historis internasional: transformasi sosialis dunia. Inilah karakter internasional baik atas dasar alasan etis maupun material.

Motivasi etis adalah penting: bagi padangan-dunia Marxis, yang materialis dan ateistik, satu-satunya nilai yang dapat dianggap “suci”—absolut—adalah kemanusiaan itu sendiri (dimana yang ditindas dan dieksploitasi merupakan kekuatan pembebas). Dalam pengertian ini, moto “Buruh sedunia, bersatulah!” bukan sekadar proposal praktis untuk aksi, melainkan juga respon etis sosialis terhadap “cinta suci pada negeri” dari ideologi nasionalis. Sosialisme oleh karena itu adalah suatu pergerakan internasionalis berdasarkan atas universalitas dan kemanusiaan nilai-nilai serta tujuannya. Tanpa daya tarik etis ini mustahil dimengerti totalitas komitmen dan pengorbanan dari banyak generasi aktivis pergerakan buruh di banyak negeri kepada sosialisme internasional (atau komunisme). Seperti Bolshevik Tua Adolf Yoffe tuliskan di surat terakhirnya pada Trotsky di tahun 1927 (sebelum melakukan bunuh diri): ‘Kehidupan manusia tak ada artinya kecuali ia ada untuk melayani kepentingan tak terbatas (infinitas), yang bagi kita adalah kemanusiaan’.
Namun, jika internasionalisme hanyalah prinsip moral, suatu pengkategorian yang imperatif/penting, maka akan begitu mudah mengabaikannya (sekadar) sebagai suatu utopia indah. Jika tidak demikian, maka karena internasionalisme proletariat mendapatkan kekuatan politiknya dari kondisi-kondisi yang objektif, kongkrit, dan material, yang telah dianalisa oleh Marx dalam Manifesto: unifikasi ekonomi dunia oleh sistem kapitalisme.

Seperti setiap totalitas dialektis, kapitalisme dunia bukanlah jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya, yakni ekonomi-ekonomi nasional; maupun perjuangan kelas internasional adalah jumlah keseluruhan dari perjuangan nasional. Keduanya membentuk suatu kesatuan organik, dengan bentuk geraknya sendiri, yang berbeda dari keistimewaan elemen-elemen komponennya. Georg Lukacs menegaskan dalam Sejarah dan Kesadaran Kelas bahwa kategori totalitas adalah, pada level metodologi, pembawa/carrier prinsip revolusioner. Dari sudut pandang totalitas, tak ada situasi nasional dan lokal dapat diserap ke dalam teori, atau ditransformasi melalui praktek, jika seseorang mengabaikan kaitannya dengan keseluruhan: dengan ekonomi, pergerakan sosial dan politik dunia.

Pada dasarnya, jauh dari menjadi anakronistik, analisis Marx dalam Manifesto sangat lebih berkecukupan di masa kita dibandingkan di tahun 1848. Imperialisme telah membebankan kepada sistem kapitalis dunia suatu derajat integrasi yang jauh lebih tinggi, kontrol pasar oleh monopoli multinasional dengan jauh lebih besar, pendeknya, unifikasi planet oleh moda produksi kapitalisme saat ini telah mencapai level yang secara kualitatif lebih tinggi dibandingkan tahun 1848. Dan kesatuan ekonomi ini juga memiliki suatu ekspresi politik dan militer di Atlantisisme dunia Barat, intervensionisme AS, dll. Ini berarti bahwa internasionalisme memiliki akarnya dalam struktur ekonomi dunia dan politik dunia. Internasionalisme sosialis adalah juga kesadaran dari realita objektif ini.

Apakah faktor menentukan dalam perjuangan kelas: kondisi-kondisi internasional atau nasional? Haruskah seseorang lebih memilih pentingnya proses dunia atau, seperti yang pernah ditulis Mao, faktor-faktor internal dan sebab-sebab nasional (endogeneous)? Dalam persoalan yang problematis ini, pertanyaan itu sendiri menyesatkan. Pertanyaan itu mengandaikan suatu pemisahan yang statis, abstrak, dan metafisik antara nasional dan internasional, ‘internal’ dan ‘eksternal’, ‘di dalam’ dan ‘di luar’. Sudut pandang dialektika benar-benar didasarkan pada pemahaman atas ­kesatuan kontradiktifantara ekonomi nasional dan pasar dunia, perjuangan kelas nasional dan internasional—kesatuan yang sudah dapat dilihat pada fakta bahwa kekhususan nasional (ekonomi dan sosial) adalah produk dari perkembangan tak merata dari kapitalisme internasional.

Apa yang salah dalam Manifesto, dan tulisan Marx lainnya, adalah pendapat bahwa kapitalisme industri modern pada dasarnya merupakan suatu kekuatan yang menghomogenisasi, melahirkan kondisi-kondisi hidup dan perjuangan yang identik di tengah-tengah kaum tertindas di seluruh dunia. Pernyataannya di tahun 1845 bahwa ‘kebangsaan kaum buruh bukanlah Perancis, ataupun Inggris dan Jerman, melainkan kerjaperbudakan bebas, menjajakan-diri sendiri’[4] sebagian besar memiliki kebenaran; namun ia mengabaikan tak hanya kespesifikan budaya dari masing-masing bangsa (yang sama sekali tidak dihancurkan oleh kapitalisme) namun juga perbedaan sosio-ekonomi antara proletariat di berbagai bangsa, yang merupakan hasil dari perkembangan tak merata dan berkombinasi sistem kapitalis dunia. Selanjutnya seseorang tidak dapat mengabaikan pentingnya kekhususan nasional dalam ‘pembentukan kelas pekerja’ di masing-masing negeri dan untuk pembangunan tradisi perlawanan dan perjuangan anti-kapitalisnya sendiri.

Dengan kata lain, meskipun kapitalisme melahirkan proletariat modern, baik di kota-kota metropolitan maupun di negeri-negeri yang didominasi, yang berjuang melawan musuh yang sama, dan memiliki tujuan historis objektif yang sama, namun sama sekali bukan berarti bahwa kondisi material dan sosial kehidupannya (belum lagi kebudayaan nasionalnya) adalah identik. Seperti Leon Trotsky menulis: ‘Jika kita ambil Inggris dan India sebagai jenis tipe kapitalis yang terpolarisasi, maka kita wajib mengatakan bahwa internasionalisme proletariat India dan Inggris sama sekali tidak bertumpu pada suatukesamaan kondisi, tugas, dan metode, namun pada kesalingbergantungan mereka yang tak terpisahkan.’[5] Kapitalisme dunia melahirkan ketimpangan yang luar biasa dan perbedaan brutal dalam kondisi kehidupan antara pusat dan pinggiran sistem tersebut: hanya hubungan timbal balik perjuangan yang saling melengkapi di berbagai negeri dapat menghimpun solidaritas internasionalis. Oleh karena itu pergerakan anti perang di Perancis di tahun 1950-an dan di AS di tahun 1960-an dan 1970-an memberi kontribusi sangat kuat kepada perjuangan rakyat Aljazair dan Indocina—demikian sebaliknya: perjuangan kolonial ini membantu untuk membakar kontestasi radikal di pusat-pusat metropolitan.

Singkatnya, internasionalisme bukanlah suatu ekspresi kesamaan kondisi kehidupan kaum tertindas dan tereksploitasi di seluruh negeri, namun hubungan dialektik saling melengkapi diantara sedikitnya tiga jenis perjuangan yang berbeda: pergerakan buruh sosialis di masyarakat kapitalis maju; pergerakan pembebasan nasional dan sosial di negeri-negeri kapitalis yang bergantung (atau kolonial); dan pergerakan untuk demokrasi dan melawan ‘reformasi’ pasar di negeri-negeri bekas Blok Timur.

Nasionalisme yang Berakar Banyak
Kaum Marxis seringkali meremehkan pentingnya persoalan nasional, (padahal) kepentingannya menentukan terhadap pembebasan nasional rakyat yang didominasi. Ini merupakan bagian dari pola umum kebutaan, pengabaian, atau paling tidak perhatian yang tidak cukup terhadap bentuk-bentuk penindasan non-kelas: nasional, rasial, atau seksual. Bukan karena Marxisme semacam itu tidak sanggup memperhitungkan dimensi ini, namun pendekatan ekonomistik yang mendominasi banyak pemikir Marxis (dan juga beberapa tulisan Marx sendiri) mengarah pada kecenderungan pengabaiannya.

Kaum Marxis juga sangat sering meremehkan kekuatan nasionalisme. Suatu kombinasi janggal ekonomisme dan ilusi atas kemajuan yang linear (warisan dari (abad) Pencerahan) menggiring pada kepercayaan yang salah bahwa nasionalisme akan menurun secara tak terhindarkan dan cepat. Internasionalisme Kedua, khususnya, percaya bahwa nasionalisme adalah milik masa lalu, dan Karl Kautksy bermimpi bahwa masa depan sosialis tanpa bangsa-bangsa dan dengan satu bahasa tunggal: ‘Dengan cara yang menyakitkan, bangsa-bangsa akan berfusi satu sama lain, lebih kurang dalam wujud yang sama dengan penduduk Romansh di daerah Grisons di Swiss, yang, tanpa sadar dan tanpa perlawanan, perlahan-lahan menjermankan dirinya setelah mereka mengetahui bahwa lebih bermanfaat berbicara bahasa yang semua orang mengerti di wilayah yang lebih luas daripada suatu bahasa yang hanya dibicarakan di sedikit lembah-lembah.’[6] Tampak jelas, dilengkapi dengan gagasan itu, kaum Marxis tak begitu siap mengkonfrontasi kebangkitan nasionalisme yang fantastik setelah 14 Agustus, yang menarik pergerakan buruh dan membawanya ke “Persatuan Suci Mempertahankan Tanah Air”—dan saling bantai antar kaum buruh di seluruh negeri. Kautksy sendiri berada di barisan ‘pertahanan nasional’ imperium Jerman, dengan berargumen bahwa Internasional Sosialis merupakan satu alat yang hanya cocok di masa damai, dan harus dikesampingkan pelan-pelan selama masa perang.

Syarat pertama untuk konfrontasi efektif terhadap nasionalisme, oleh karena itu adalah, menghentikan ilusi menyangkut kemajuan linear, yakni, harapan yang naïf menyangkut evolusi damai dan “pelenyapan” gradual nasionalisme dan perang nasional, terima kasih kepada modernisasi dan demokratisasi masyarakat industri, internasionalisasi tenaga produktif, dlsb.

Bagaimana seseorang dapat menjelaskan kekuatan luar biasa nasionalisme di serangkaian sejarah abad keduapuluh? Jawaban pertama boleh jadi argumentasi klasik Marxis: nasionalisme merupakan suatu ideologi borjuis dan kekuatannya atas massa rakyat adalah salah satu bentuk utama yang diambil dari dominasi iodeologis borjuis dalam masyarakat kapitalis. Analisa ini tidaklah salah, tapi tidak cukup untuk menjelaskan kekuatan daya tarik nasionalisme, kadang terhadap bagian signifikan gerakan buruh. Sebab-sebab lain harus dijadikan pertimbangan.

Pertama, kondisi ekonomi dan material yang kongkrit: kompetisi pekerja antar bangsa berbeda (atau antar negara), adalah akibat yang inheren dari kapitalisme. Ini merupakan persoalan kepentingan jangka pendek—contohnya mencegah masuknya komoditas asing yang dapat menimbulkan pengangguran—namun pengaruh nyatanya dapat membutakan kaum buruh yang bersaing dari kepentingan historis yang sama dalam menghapuskan eksploitasi. Hal ini, juga terjadi di dalam satu bangsa, ketika pekerja menganggur dengan sukarela menggantikan pekerja yang mogok. Marx sendiri menyadarinya dalam Manifesto bahwa kompetisi antar kaum buruh secara konstan mengancam memecah dan menghancurkan organisasinya bersama.
Kedua, tendensi-tendensi irasional, serupa dengan nasionalisme chauvinis, fanatisisme relijius, rasisme dan fasisme: suatu fenomena fisik yang kompleks, yang masih harus dipelajari, Erich Fromm tentang ‘melarikan diri dari kebebasan—escape from freedom’ dan Theodor Adorno tentang kepribadian otoriter, merupakan diantara kontribusi pertama yang penting menyangkut suatu penjelasan. Nasionalisme, sesuai asalnya, merupakan ideologi irasional: ia tak bisa melegitimasi keistimewaan satu bangsa atas yang lainnya dengan kriteria rasional apapun—karena rasionalitas substantif (yang, tak murni instrumental) selalu berkecenderungan universal. Oleh karena itu ia menarik bagi mitos-mitos non rasional seperti misi suci yang melekat pada bangsa, superioritas abadi dan bawaan rakyat, hak menduduki Labenstraum (wilayah tambahan—pent) geografis yang lebih luas, dsb. Namun, ia juga menggunakan bentuk-bentuk legitimasi pseudo-rasional dan pseudo-ilmiah, seperti geopolitik atau antropologi rasial. Seringkali itu tidak terkait dengan kesatuan historis dan kultural yang dalam, menjadi hanya ideologi resmi negara-negara yang kurang lebih artifisial, yang batas-batasnya merupakan produk kebetulan dari kolonialisasi dan/atau dekolonisasi (contohnya di Afrika dan Amerika Latin).

Namun terdapat alasan lain dari kebangkitan nasionalisme, yang harus dimengerti secara serius oleh kaum Marxis dan kaum sosialis: perjuangan pembebasan bangsa-bangsa tertindas dan terjajah. Meskipun Marxisme sedemikian bertentangan dengan ideologi nasionalis, harus sangat jelas dibedakan antara nasionalisme penindas, dan nasionalisme yang ditindas. Marxisme harus mendukung semua perjuangan untuk pembebasan nasional atau untuk hak bangsa-bangsa tertindas menentukan nasibnya sendiri, bahkan jika ideologinya (atau ideologi para pimpinannya) nasionalis. Tentu saja, internasionalis Marxis yang ambil bagian dalam pergerakan untuk pembebasan nasional harus mempertahankan independensinya, dan mencoba untuk meyakinkan massa rakyat tertindas yang dieksploitasi akan kebutuhan untuk membangun perjuangan (dengan cara yang tak terinterupsi) melampaui tujuan-tujuan nasional, menuju transformasi revolusioner sosialis. Namun mereka tidak dapat mengabaikan atau meremehkan signifikansi tuntutan kerakyatan untuk penentuan nasib nasional sendiri.

Alasannya, bukan saja karena kaum sosialis melawan semua bentuk penindasan (nasional, rasial, seksual atau kelas) namun juga karena terdapat suatu hubungan dialektis antara hak-hak nasional dan internasionalisme. Internasionalisme sosialis tidak dapat berkembang tanpa pengakuan pergerakan sosialis terhadap hak yang sama atas semua bangsa. Dengan cara yang sama, persatuan dan solidaritas kaum buruh di satu dan bangsa yang sama tak akan bisa terjadi kecuali atas landasan kesetaraan—tanpa ada pembedaan atau keistimewaan berdasarkan pekerjaan, agama, ras, seks, atau cabang produksi—,persatuan internasionalis kaum tertindas hanya dapat dibangun atas dasar pengakuan terhadap hak-hak nasional, dan pada khususnya, hak penentuan nasib sendiri bagi seluruh rakyat.

Ketika Lenin bersikeras bahwa Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia harus mengakui hak Polandia menentukan nasib sendiri—hak rakyat Polandia memutuskan untuk dirinya sendiri jika mereka hendak mendirikan suatu negara terpisah atau tidak—ia melakukannya tak hanya karena perjuangan bangsa Polandia melawan Tsarisme secara historis progresif (argumen yang digunakan Marx dan Engels) namun, yang lebih penting, karena hal itu merupakan suatu pra kondisi bagi pendirian suatu aliansi internasionalis antara kaum buruh Rusia dan Polandia. Pengakuan hak-hak nasional merupakan suatu syarat penting bagi solidaritas internasional, sejauh ia menghalalkan penghancuran kecurigaan, kebencian, dan ketakutan, yang menempatkan bangsa-bangsa menjadi lawan satu sama lain dan menyuburkan chauvinisme. Seperti tulis Lenin, tanpa ada hak untuk bercerai—memiliki negara yang terpisah—tak aka nada perkawinan yang benar-benar bebas—persatuan atau federasi antar bangsa. Sayangnya, kebijakan pemerintah Bolshevik (termasuk Lenin) setelah Oktober 1917 tak selamanya berhubungan dengan prinsip ini: contohnya, invasi ke Polandia di tahun 1920 dan pendudukan Georgia di tahun 1921.

Dengan membedakan kapital dari nasionalisme penindas dengan yang ditindas, kaum internasionalis sosialis tak perlu mendukung yang pertama. Namun mereka memahami karakter kontradiktifnya: dimensi pembebasannya sebagai pemberontakan melawan penindasan tak adil, dan batasannya sebagai ideologi yang bersifat khusus. Oleh karena itu, logis lah bahwa semua pergerakan sosial sejati di dalam suatu bangsa yang tertindas, harus meletakkan pembebasan nasional pada pusat perjuangan mereka, sambil mengaitkannya pada pembebasan sosial dari eksploitasi kapitalis—Nicaragua adalah contoh utama—sementara di metropolis imperialis, penolakan terhadap nasionalisme lah yang menjadi jantung dari semua konfrontasi radikal dengan tatanan yang ada, dari pergerakan anti perang di AS hingga Perancis Mei 1968 (yang slogan utamanya adalah ‘Perbatasan, persetan dengannya!’—Frontiers, the hell with them!).

Hal ini maksudnya, haruslah ditekankan bahwa pembedaan antara dua jenis nasionalisme adalahrelatif bukan absolut. Pertama, karena, yang kemarin tertindas dapat dengan mudah menjadi penindas hari ini: tak kurang bukti sejarah menunjukkannya di masa kita. Kedua, karena ideologi (atau gerakan) nasionalis bangsa-bangsa tertindas seringkali bermata dua: membebaskan dari penindasnya, namun menindas terhadap minoritas nasionalnya sendiri. Dan ketiga, seseorang dapat menemukan pada kedua bentuk nasionalisme elemen-elemen chauvisisme, penolakan global terhadap ‘yang lain’ dan (kadang-kadang) rasisme.
Lenin mungkin adalah pemikir Marxis‘klasik’yang paling baik dalam memahami dialektika antara internasionalisme dan hak-hak nasional. Namun, dalam bagian-bagian tulisannya ia menampilkan hak-hak demokratik bangsa-bangsa sebagai suatu ­bagian yang harus disubordinasikan kepadakeseluruhan, yakni pada gerakan demokratik dan sosialis dunia. Formulasi ini, menurut saya, tampak berbahaya dan agak mekanistik. Jika revolusi sosialis adalah pembebasan diri proletariat—beraliansi dengan seluruh kelompok sosial tertindas dan tereksploitasi—ia terkait sangat mesra dengan penentuan nasib sendiri atas bangsa secara demokratik. Seseorang yang ‘sosialisme’nya dimasukkan dari luar, melawan kehendaknya, hanya akan mengerti karikatur dari sosialisme, tak terhindarkan lagi akan menjadi degenerasi birokratik. (Banyak negeri-negeri Eropa Timur menerangkan garis ini!) Menurut pendapatku, akan lebih layak—dan terhubung dengan lebih baik pada semangat dari banyak karya-karya Lenin mengenai persoalan nasional—mencapai revolusi sosialis dan persaudaraan internasional proletariat sebagaimana tujuan kaum Marxis dan penentuan nasib sendiri nasional sebagai cara yang dibutuhkan untuk menerapkannya. Tujuan dan cara terkait secara dialektik sedemikian rupa sehingga subordinasi dimensi nasional pada internasionalisme menyingkirkan kemungkinan “mengorbankan” yang pertama untuk yang kedua.

Melampau Bangsa-bangsa?
Jika internasionalisme sosialis berseberangan dengan ideologi nasionalis, maka sama sekali tidak berarti bahwa ia menolak tradisi budaya dan sejarah bangsa. Dengan cara yang sama seperti pergerakan internasionalis di setiap negeri harus berbicara bahasa nasional, mereka juga harus bicara bahasa kebudayaan dan sejarah nasional; khususnya, tentu saja, ketika kebudayaan ini ditindas. Seperti diakui oleh Lenin, tiap kebudayaan dan tiap sejarah nasional mengandung elemen-elemen demokratik, progresif, revolusioner yang harus disertakan oleh kebudayaan sosialis pergerakan buruh, dan elemen-elemen (kebudayaan) yang reaksioner, chauvinis, dan kolot harus tanpa kompromi dilawan. Tugas internasionalis menggabungkan warisan sejarah dan kebudayaan dari pergerakan sosialis dunia dengan budaya dan tradisi rakyatnya, dalam dimensi radikal dan subversifnya—seringkali dirusak bentuknya oleh ideologi borjuis atau disembunyikan dan dikubur oleh kebudayaan resmi kelas penguasa. Demikian pula, sehingga kaum Marxis harus perhatikan, dalam perjuangan revolusioner mereka, kepentingan utama dari kekhususan nasional atas formasi sosial mereka, maka dalam perjuangan ideologinya tidak dapat mengabaikan keganjilan (keistimewaan) nasional kebudayaan dan sejarah mereka sendiri. Inilah yang dilakukan FSLN (Frente Sandinista de Liberacion Nacional) di Nikaragua, mengaitkan Marxisme dengan warisan Sandino, tradisi radikal yang hidup dalam memori kolektif rakyat Nikaragua. Proses serupa terjadi di Kuba dengan tradisi demokratik dan anti imperialis yang diwakili oleh Jose Marti, dan Amerika Selatan dengan pemberontak Indian di masa lalu yang diwujudkan dalam diri Tupac-Amaru.

Jika Sosialisme, dalam pengertian Marxian—suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara—dapat terjadi hanya dalam skala dunia, maka apa yang akan menjadi tempat bagi bangsa-bangsa di “Bumi Pertiwi Sosialis” di masa yang akan datang? Pertanyaan ini tidak murni utopis dan tak relevan, karena karakter internasionalis dari tujuan akhir sosialis revolusioner harus menginspirasi, pada tingkat tertentu, setidaknya, menunjukkan bentuk/wujud perjuangan. Bagi materialisme historis, negara-bangsa bukanlah kategori abadi: ia bukan hasil dari ‘kealamiahan manusia’ maupun hukum biologis alam (suatu tesis yang diajukan oleh beberapa ahli ‘sosio-biologi’ ultranasionalis yang seolah-olah menarik kesimpulan bangsa dari ‘prinsip teritorial’ spesies binatang tertentu). Ia tidak selamanya ada di masa lalu, dan tak ada yang memaksa kita untuk percaya bahwa ia akan selalu ada di masa depan. Pendeknya, ia merupakan produk sejarah dan secara historis pula dapat digantikan.

Kebutuhan terhadap beberapa bentuk organisasi terstruktur (atau ‘institusional’) merupakan suatu kebutuhan universal seluruh masyarakat manusia beradab. Organisasi ini dapat saja juga mengambil bentuk-bentuk nasional sebagai infranasional (klan, kesukuan) atau yang supranasional (peradaban relijius). Eropa abad pertengahan merupakan suatu contoh karakteristik organisasi sosial politik yang mengombinasikan struktur-struktur lokal yang ‘pra nasional’ (fiefs[7], principalities[8], dll) dan struktur universalitas yang merupakan ‘trans-nasional’(Kerajaan Suci Roma, Gereja). Negara-Bangsa modern lahir di abad empatbelas dan limabelas—bersama kebangkitan kapitalisme dan formasi pasar nasional—tepatnya melalui penghancuran/dekomposisi dari struktur-struktur non nasional ini.
Oleh karena itu tidak terdapat alasan apriori untuk menolak kemungkinan suatu organisasi supranasional masyarakat manusia, suatu Republik Sosialis Dunia, di masa depan, yang menyatukan secara ekonomi dan politik spesies manusia, yang akan mengurangi bangsa secara esensial pada dimensi kebudayaannya. Kebudayaan universal yang akan muncul dalam kerangka semacam itu akan secara damai berkoeksistensi dengan kebudayaan nasional yang beranekaragam.

Isu ini telah menjadi cukup kontroversial bagi Marxisme abad keduapuluh. Seseorang akan mendapati pada dasarnya dua kecenderungan: 1. Mereka yang setuju (atau yang menganggap tak terhindarkan) asimilasi semua bangsa, di masa yang akan datang, ke dalam kebudayaan bersama sosialis yang universal: Kautsky, Lenin, Stalin, Pannekoek, Strasser. Teori Kautsky terhadap satu bahasa internasional merupakan ekspresi logis dari posisi ini. 2. Mereka yang percaya dengan perkembangan bebas semua kebudayaan nasional dalam suatu komunitas universal yang terintegrasi: Bauer, Trotsky, dan Luxemburg. Contohnya, Trotsky menulis dalam esai di tahun 1915: “Bangsa adalah aktor yang permanen dan aktif kebudayaan manusia. Dan dalam suatu rejim sosialis, bagsa yang terbebas dari rantai ketergantungan ekonomi dan politik, akan diajak untuk memainkan peran fundamental dalam perkembangan sejarah.’[9] Posisi ketiga, ‘netralitas nasional’, secara implisit digambarkan oleh Vladimir Medem, pemimpin Jewish Bund; mustahil untuk meramalkan apakah perkembangan hitoris masa yang akan datang akan, atau tidak akan, membawa pada asimilasi bangsa Yahudi. Di kasus manapun, kaum Marxis tak boleh mencegah, maupun menstimulus, proses asimilasi ini, tetapi tetap netral.[10] Jika seseorang menjeneralisasi posisi ini terhadap semua kebudayaan nasional (yang tidak dilakukan Medem) maka ia akan memiliki suatu konsepsi baru dan asli menyangkut masalah tersebut.[11]

Dalam hal apapun, yang paling penting, dari sudut pandang sosialis, revolusioner, dan demokratikadalah, tak ada politik internasionalis yang boleh didasarkan pada penolakan, represi, pengabaian, atau pembatasan hak nasional penentuan nasib sendiri dan pengembangan diri.*

* Lowy, Micahel “Fatherland or Mother Earth? Essay on National Question”, Bab 5 (London, Pluto Press & IIRE, 1998). Michael Löwy adalah seorang filsuf dan sosiolog asal Brazil, saat ini anggota New Anti-capitalist Party di Perancis dan Fourth International. Salah satu intelektual di IIRE Amsterdam dan bekas direktur peneliti di French National Council for Scientific Research (CNRS), ia telah menulis banyak buku termasuk The Marxism of Che Guevara, Marxism and Liberation Theology, The War of Gods: Religion and Politics in Latin America.  
Diterjemahkan oleh Zely Ariane

[1] Hans Kohn, Nationalism (Princeton: Von Nostrand, 1955), hal.9.
[2] Ibid., hal.15.
[3] Tom Nairn, ‘The Modern Janus’, New Left Review, no. 94 (November-Desember 1975), hal.15.
[4] Karl Marx, ‘Draf pada artikel buku Friedrich List Das Nationale System der politischen Oekonomie’(1845), dalam Marx dan Engels, Collected Works (New York: International Publishers, 1975–) vol.4, hal.280. Lihat juga Bagian 1 [hal 7].
[5] Leon Trotsky, ‘Introduction to the German Edition’(1930), The Permanent Revolution and Results and Prospects (New York: Pathfinder Press, 1969), hal. 150.
[6] Karl Kautsky, ‘Die modern Nationalitat’, Die Neue Zeit vol.V (1887), hal. 451.
[7] Merupakan suatu daerah yang dimiliki, diperintah, dan dilindungi oleh seorang Bangsawan http://www.answers.com/topic/what-were-fiefs#ixzz1ZuMLiGvp
[8] Suatu wilayah yang diperintah oleh pangeran atau putri atau oleh orang yang mendapatkan gelar tersebut: http://www.answers.com/topic/principality#ixzz1ZuNIXsiy
[9] Trotsky, ‘Nation et Economie’ (1915), in Pluriel-Debat no. 4 (April 1975), hal. 48. Analisis ini dipinjam dari paper luar biasa Enzo Traverso ‘Socialismo e nazione: rasssegna di una controversia marxista’, Il Ponte vol. 40, no. 1 (1984), hal. 60.
[10] Vladimir Medem, The National Question and Social Democracy (Vilna, 1906), dikutip dalam Arieh Yaari, Le defi national : Les theories marxistes sur la question nationale a l’epreuve de I’histoire(Paris: Anthropos, 1978), hal. 186-7.
[11] Traverso, ‘Socialismo e nazione’, hal. 61.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Cara Venezuela Memenuhi Kebutuhan Sembako Rakyatnya

Di suatu siang, ratusan warga berkumpul di sebuah tempat ibadah di bilangan Bogor. Mereka menanti acara pembagian sembako, seperti yang sudah-sudah, begitu acara dimulai, ratusan warga ini pun menyerbu ke depan dan saling berebut. Rela tidak rela, terinjak-injak menjadi resiko yang harus mereka hadapi untuk mendapatkan sembako yang dibagikan tersebut

Hal tersebut telah menjadi pemandangan dalam setiap acara pembagian sembako, maklum, meski negeri ini dikenal dengan kekayaan alamnya, sembako sendiri sudah menjadi barang mahal yang sulit didapatkan oleh Rakyat. Masih ingat? Tahun 2008, di Pasuruan, acara pembagian sembako menelan 21 korban jiwa. Menyedihkan

Hal seperti itu pernah terjadi pula di Venezuela sebelum Hugo Chavez berkuasa. 1960, jumlah penduduk pedesaan Venezuela hanya 35%, tetapi pada tahun 1990an, jumlah penduduk pedesaan Venezuela menyusut tinggal 12%. Hal itu terjadi karena mayoritas penduduk desa berpindah ke kota ketika negara itu mengalami booming minyak.

Setelah itu, produksi pangan pun jatuh. Sekitar 70% kebutuhan pangan rakyat Venezuela bergantung kepada impor. Padahal, lebih dari separuh penduduknya dikategorikan miskin, dan sekitar 45% diantaranya masuk kategori “kemiskinan ekstrem”. Ketergantungan impor inilah yang membuat rakyat Venezuela sering menjerit ketika harga pangan dunia tiba-tiba melonjak naik.

Karena sebagian besar kebutuhan pangan diimpor, maka rakyat Venezuela pun harus membeli sembako di mall-mall dan supermarket. Harga pangan di supermarket Venezuela sama dengan harga pangan di supermarket AS. Padahal, upah minimum di Venezuela saat itu hanya 11 USD per-hari.

Ketika Chavez berkuasa pada tahun 1998. Ia berhadapan langsung dengan persoalan-persoalan pelik ini. Selain hancurnya sektor pertanian, Chavez juga berhadapan dengan kenyataan: 75% tanah dikontrol oleh 5% tuan tanah. Itulah yang disebut “latifundios”.  Chavez pun memulai sejumlah gebrakan. Tetapi, hampir semua gebrakan itu diawali oleh penulisan kembali konstitusi.

Gebrakan pertama Chavez untuk kedaulatan pangan adalah land reform. Hal ini diatur dalam konstitusi negara Venezuela yang baru. Lalu, pada tahun 2001, Chaves mengeluarkan UU tentang tanah dan pembangunan pertanian. Di bawah slogan “kembali ke desa”, Chavez menegaskan bahwa tanah yang tidak terpakai alias menganggur harus digunakan untuk menaikkan produksi makanan.

Program itu sukses mendistribusikan tanah-tanah milik negara yang menganggur kepada petani dan koperasi. Lalu, hukum baru Venezuela itu juga memungkinkan pengambilan tanah swasta, dengan ketentuan: 50 hektar untuk tanah berkualitas tinggi dan 3000 hektar untuk tanah berkualitas rendah.

Misi ini diberi nama mission Zamora—mengambil nama tokoh pejuang reforma agrarian Venezuela pada tahun 1850-an. Tidak hanya mendistribusikan tanah kepada petani dan koperasi, pemerintahan Chavez juga memberikan dukungan modal dan teknologi kepada para petani.

Sekalipun petani sudah berproduksi, tetapi jika tidak didukung industri pengolahan, maka hasil produksi petani Venezuela itu akan tetap dijual ke pasar internasional. Karena harga di pasar internasional memang relative lebih tinggi. Tetapi rakyat Venezuela harus membeli lebih mahal hasil pertanian itu apabila sudah diolah menjadi produk jadi. Chavez pun menyusun program pembangunan pabrik olahan. Skema ini mengakhiri penindasan petani oleh tengkulak.

Lalu, pada tahun 2003, Chavez kembali meluncurkan sebuah program baru: Mission Mercal. Program ini merupakan respon terhadap sabotase sayap kanan Venezuela pada tahun 2002. Saat itu, kamar dagang Venezuela (Fedecámaras) melancarkan aksi “lockout” karyawan. Perusahaan-perusahaan makanan, yang sebagian besar dikontrol oleh modal asing, turut menjalankan lockout. Supermarket juga banyak yang tutup. Rakyat Venezuela krisis bahan pangan.

Dengan program Mission Mercal, pemerintahan Chavez membangun ribuan toko kelontong yang disubisidi pemerintah dengan menjual daging, ikan, telur, susu, keju, roti, sereal, pasta, nasi, tepung, saus tomat, buah, kopi, margarin, minyak, gula, dan garam. Harganya 39% di bawah harga barang sejenis di Supermarket swasta. Di Mercal, harga susu bubuk hanya 7.89 bolivar, sedangkan di pasar swasta harganya mencapai 17 bolivar.

Mission Mercal ini membeli produk pangan secara langsung kepada petani Venezuela. Impor hanya dibolehkan jika bahan pangan itu tidak diproduksi petani Venezuela. Mereka memangkas proses distribusi, menghilangkan agen perantara dan menghindarkan penimbunan. Toko-toko ini punya gudang penyimpanan yang sangat besar.

Toko-toko ini juga menyediakan lapangan kerja baru bagi rakyat Venezuela. Meskipun didanai dan disubsidi pemerintah, tetapi toko-toko ini dijalankan sepenuhnya oleh rakyat melalui dewan komunal.

Pemerintah juga meluncurkan Producción y Distribución Venezolana de Alimentos (PDVAL), sebuah jaringan yang mendistribusikan bahan pangan dan kebutuhan rakyat dengan harga murah ke seluruh negeri. Program ini sepenuhnya disokong oleh perusahaan minyak negara Venezuela (PDVSA). Salah satu bentuk program ini adalah mobil pengangkut makanan yang mengangkut makanan ke komunitas (kampung-kampung).

Mission Mercal juga mengorganisir dapur umum untuk memberi makanan murah dan bergizi kepada rakyat Venezuela. Daging dengan harga murah, bahkan ada yang gratisan, didistribusikan melalui mission mercal ini. Ini untuk menopang program pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi rakyat.

Sekarang, sekalipun krisis pangan dunia menghantui, Chavez dengan lega berkata kepada rakyatnya: “ada krisis pangan dunia, tetapi Venezuela tidak akan jatuh ke dalam krisis itu. Sebaliknya, kita akan membantu negara-negara lain yang mengalami krisis ini.”

Dan, baru-baru ini, Venezuela telah menjadi negara pertama yang mengirimkan makanan ke Haiti dan Somalia.

Venezuela bisa melakukan itu karena pemerintahannya berpihak kepada rakyat. Chavez, seorang bekas kolonel, berani melawan kepentingan asing dan swasta. Sedangkan presiden Indonesia, SBY, yang berpangkat jenderal, sangat takut kepada imperialisme Amerika dan modal asing.

Marhaenisme Dan Relevansinya Dalam Situasi Sekarang

Di bulan September 1958, Bung Karno telah menjawab klaim marhaenis di kalangan para pendukungnya. Dalam pidatonya di istana negara itu, Bung Karno mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.

Pidato itu adalah sebuah penegasan, setidaknya kepada kader-kader marhaen yang masih komunisto-phobia, bahwa marhaenisme adalah marxisme. Segera setelah itu, muncul penentangan dari dalam kubu Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sendiri, terutama dari kubu Ketua Umum PNI, Osa Maliki. Kata Osa Maliki, “Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme”.

Tetapi Soekarno tidak hanya sekali mengatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Itu dikatakannya berkali-kali, bahkan semakin diperlengkap dan disistematisir. Misalnya, pada tahun 1936 ketika berpidato di hadapan Front Marhaenis, Bung Karno mengatakan bahwa untuk memahami Marhaenisme, maka kita harus menguasai dua pengetahuan: (1) pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan (2) pengetahuan tentang marxisme.

Soekarno mengakui bahwa dirinya sangat dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx, terutama tentang materialisme-historisnya. Dan, pada saat itu, Soekarno jelas-jelas menyebut Marhaenisme sebagai penerapan materialis-historisnya Karl Marx dalam kekhususan masyarakat Indonesia.

Dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya Michael Laifer, disebutkan bahwa marhaenisme adalah salah satu varian dari marxisme. Mungkin bisa disejajarkan dengan Maoisme, José Carlos Mariátegui, Sosial demokrat, Leninisme, dan lain sebagainya.

>>>

Bung Karno mulai mengelaborasi gagasan-gagasan yang membentuk marhaenisme pada tahun 1920-an. Untuk mengerti gagasan-gagasan tersebut, tentu kita kita harus melihat kembali konteks saat itu. Pada saat itu, ada tiga gagasan besar yang mempengaruhi gerakan pembebasan nasional Indonesia: marxisme, nasionalisme dari bangsa tertindas, dan Islamisme yang anti-kolonial.

Sejarahwan Soviet yang juga penulis Biografi Soekarno, Kapitsa MS dan Maletin NP, menyebut gagasan Marhaenisme Soekarno itu sebagai ajaran yang eklektis, yang secara keseluruhan mengandung sifat-sifat subjektif dan idealis.

Alasannya, kata kedua sejarahwan Soviet itu, karena Soekarno mencampurkan ke dalam ajaran marhaenisme itu beberapa ajaran2 sosialisme borjuis kecil, khususnya sosialisme islam dan ide-ide tradisional, yang sejalan dengan gagasannya tentang demokrasi dan anti-imperalisme.

Pada awalnya, Soekarno agak berhati-hati dengan materialisme, karena anggapannya materialisme itu anti-tuhan. Tetapi, setelah beberapa saat kemudian, Soekarno sudah membedakan antara meterialisme-historis Marx dan materialism-nya Feurbach. “Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang anti Tuhan, tetapi bukan Historis Materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme lain, misalnya materialisme-nya Feuerbach: Filosofis Materialisme, Wijsgerig Materialisme,” kata Soekarno.

Kata ”Marhaen” sendiri merujuk kepada nama seorang petani kecil yang ditemui Soekarno. Marhaenisme, jika kita lihat dari urian Bung Karno di tulisan ”Marhaen dan Proletar”, adalah sebuah analisa terhadap klas-klas sosial dalam relasi produksi mayarakat Indonesia.

Kenapa menggunakan istilah Marhaen, bukan proletar? Karena, menurut Soekarno, keadaan eropa tidak sama dengan keadaan di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang berkembang adalah ’kepabrikan’, sedangkan di Indonesia adalah pertanian; di eropa kapitalisme bersifat zuivere industrie (murni industri), sedangkan di Indonesia 75% bersifat onderming gula, onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya.

Soekarno lalu menyimpulkan:

”Bahwa di sana kapitalisme itu terutama sekali kaum proletar 100%, sedangkan di sini terutama sekali menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa di sana memang benar mati-hidupnya kapitalisme itu ada di genggaman kaum proletar, tetapi di sini sebagian besar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya di sana kaum proletar menjadi ”pembawa panji-panji”, tetapi di sini belum tentu harus juga begitu?”

Ada yang mengatakan, Soekarno seorang eklektik karena mengutamakan borjuis kecil dalam revolusinya. Saya rasa tidak begitu. Soekarno, dalam tulisan ’Marhaen dan Proletar”, memberikan penghargaan kepada kaum buruh sebagai—meminjam istilah Soekarno: ”menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial”.

Ia dengan terang membedakan antara karakter klas kaum tani dan kaum buruh. Menurutnya, kaum tani umumnya masih hidup satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, dengan pergaulan hidup dan cara produksi yang masih kuno. Sedangkan Proletar, di mata Soekarno, sudah mengenal pabrik, mesin, listrik dan cara produksi kapitalisme. ”Mereka langsung menggenggam hidup-matinya kapitalisme di dalam tangan mereka, lebih direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme,” kata Soekarno.

>>>

Kenapa Marhaenisme tidak berkembang setelah Bung Karno tiada?

Sudah jelas, marhaenisme tidak bisa dipisahkan dari ajaran marxisme. Akan tetapi, ketika Soekarno menegaskan hal itu, sebagian pengikutnya di dalam PNI menyatakan penentangan keras. Padahal, seharusnya PNI inilah yang menjadi kendaraan operasional dan pengembangan ideologi Soekarno itu.

Pemisahan terhadap Marhaenisme dan Marxisme makin kentara ketika Soeharto berkuasa. Kita tahu, selepas Soeharto melakukan kudeta terhadap Soekarno, orang-orang kiri, yang tidak lain penganut marxisme atau terpengaruh marxisme, dikejar-kejar dan dibasmi dengan kejam. Orang pun lantas takut dituding penganut marxisme.

Jadi, ajaran marhaenisme pasca bung Karno adalah marhaenisme tanpa marxisme. Karena landasan teorinya dihilangkan, maka marhaenisme pun mengalami kebangkrutan sebagai teori perjuangan.

Apakah marhaenisme masih relevan untuk sekarang ini?

Menurut saya, marhaenisme, sebagai marxisme yang dipraktekkan di Indonesia, adalah sebuah teori ilmiah yang menentang dogmatisme. Soekarno tidak mau mengcopy-paste begitu saja marxisme dari Eropa untuk diterapkan di Indonesia.

Inilah pula yang dilakukan oleh Lenin dalam konteks Rusia, Mao dalam situasi Tiongkok, atau José Carlos Mariátegui di Peru.

Dengan penentangan yang kuat terhadap dogmatisme, maka marhaenisme semestinya bisa berkembang menjadi teori perjuangan yang canggih dan sesuai dengan nafas perkembangan jaman.

Sebagaimana marxisme sebagai the guiding theory untuk menjalankan perjuangan, maka Marhaenispun adalah the guiding theory untuk perjuangan rakyat Indonesia. Soekarno sendiri berkata:

” Jangan sekali lagi engkau terima Marhaenisme itu sekedar teori, tidak, Guide to action, dan engkau harus act, engkau harus berjuang dan bertindak. Saudara-saudara, tujuannya sudah jelas, tujuan kita sudah jelas, yaitu masyarakat adil dan makmur didalam Indonesia merdeka yang merdeka betul. Kerangka Revolusi yang ketiga : Indonesia merdeka, berbentuk negara Republik Indonesia, kesatuan, berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke. Itu harus kita laksanakan dengan action, dengan action, dengan perbuatan, dengan amal. Masyarakat yang adil dan makmur, masyarakat Sosialisme Indonesia, –aku selalu berkata, tanpa exploitation de l’homme par l’homme.”

Juga, karena penekanan marhaenisme pada ”pemilik produksi kecil”, maka ia menjadi sangat relavan untuk menjawab kekhususan karakter kapitalisme Indonesia dalam alam neoliberal saat ini. Perkembangan ini ditandai dengan melonjaknya sektor informal akibat de-industrialisasi. Sekarang ini pertumbuhan sektor informal yang sekarang ini mencapai 70% dari angkatan kerja. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan kecil (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan kecil (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian (petani menengah, miskin, dan gurem).

Saya sendiri berkesimpulan, bahwa sangat sulit berbicara gerakan perubahan atau semacam revolusi di Indonesia tanpa memperhitungkan peranan “pemilik produksi kecil” ini.

Rudi Hartono

Minggu, 09 Oktober 2011

BELATI KALAM PROFAN

Ditulis malam pertama pemusnahan total para oponen
para despot yang menahun bermimpi tentang dunia yang homogen
kami jawab tantangan gelap dengan hunusan kalam puputan
bagi para sponsor pembangunan altar detasemen dua angka delapan
dengan prosa yang bernafas dalam kubangan bangunan
yang kalian rancang di bawah barisan nisan yang kalian pancang
bagi para pagan yang mati menyusuri jalur ziarah
pada situs yang menampung gunungan pahala seamis darah
segelap pitam para penghuni neraka yang kalian ciptakan
bersama mimpi-mimpi buruk yang kalian kirim lewat tingkatan
kasta dan jurang pemisah yang kalian sebut takdir
yang aku sumpah semua meruntuh lebih cepat dari hitungan jam pasir
kalian citrakan kasir sebagai petanda datangnya surga dimuka bumi
berlindung di balik kosakata stabilitas dan konstitusi
belati para profan, dibawah serapahmu aku bersumpah
lebih baik kami mati terlupakan daripada selamanya dikenang orang karena menyerah

hunusan belati penasbihan penghabisan//

rima ini lupa berduka terluka sedemikian rupa
sehingga bernazar untuk hidup tanpa hamba dan paduka
murka tanah tua jawa yang membabi buta mencari ghurka
dari dupa kotak suara demokrasi dasamurka
karena rima ini adalah pusaka perusak tameng
para pengecut yang bersuaka dibalik rentetan angka dan pujian pada prasangka
aku adalah sumber petaka bagi semua tuhan dan iblis yang membendung dunia di atas undang-undang dan fakta.
bagi para arsitek dunia pasca keruntuhan
para idiot seperti Aidit, berkas bank yang kau audit,
invasi kultural MTV, dan Coca-cola
sejak mulut Faisol Reza sudah se-fasis pedang para GPK
dihadapan barisan nisan, ribuan tumpukan Big Mac
dan kontol intelejen perpanjangan tangan
neo-imperalis yang bersenjatakan pasar dan hutang
aku berdiri tegak dengan hunusan belati kalam profan penasbihan penghabisan
aku pemanen bernubuwat layak ribuan riff Azaghtot
bagi semua b-boy yang bersampah bacot
hingga hasratku berkarat, hingga hikayat kepalanku tamat
hingga kepala Siti Jenar berpulang pada para jasad
Marley, Malaka, Morrison , Thukul dan Sabate diatas horizon
kanon yang meluluhlantak semua antek panoptikon
rima ini bergerak dalam lamat, belatung pengerat
keyakinan para Lenin yang dilanda kemiskinan-kemiskinan filsafat

- Homicide

Jumat, 07 Oktober 2011

Apa Neoliberalisme Itu? Sebuah Definisi Singkat


"Neo-liberalisme" adalah seperangkat kebijakan ekonomi yang meluas sejak sekitar 25 tahun terakhir ini. Walaupun kata tersebut jarang didengar di Amerika Serikat, Anda dapat melihat efek neoliberalisme secara jelas di sini dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. "Liberalisme" dapat mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, atau bahkan relijius. Di AS, liberalisme politik merupakan strategi untuk menghindari konflik sosial. Ia dipresentasikan kepada rakyat miskin dan pekerja sebagai sesuatu yang progresif dibandingkan konservatif atau sayap Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda. Politikus konservatif yang mengatakan bahwa mereka membenci kaum "liberal" -- artinya dalam hal politik -- tidak memiliki masalah dengan liberalisme ekonomi, termasuk neoliberalisme.
"Neo" berarti kita membicarakan jenis baru liberalisme. Jadi apa jenis lamanya? Pemikiran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang pakar ekonomi Skotlandia, menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE WEALTH OF NATIONS. Ia dan beberapa lainnya mengadvokasikan penghapusan intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian. Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat perdagangan, tidak ada tarif, katanya; perdagangan bebas adalah cara terbaik bagi perekonomian suatu bangsa untuk berkembang. Ide-ide tersebut "liberal" dalam arti tidak ada kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha "bebas", kompetisi "bebas" -- yang kemudian artinya menjadi bebas bagi kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar yang diinginkannya.
Liberalisme ekonomi berlangsung di Amerika Serikat sepanjang 1800an dan awal 1900an. Kemudian Depresi Besar tahun 1930an membuat seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes merumuskan sebuah teori yang menyangkal liberalisme sebagai kebijakan terbaik bagi kaum kapitalis. Ia berkata, pada intinya, bahwa kesempatan kerja penuh (full employment) dibutuhkan agar kapitalisme tumbuh dan itu hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi untuk meningkatkan kesempatan kerja. Ide-ide ini banyak mempengaruhi programNew Deal Presiden Roosevelt -- yang sempat memperbaiki kehidupan banyak orang. Keyakinan bahwa pemerintah harus menomorsatukan kepentingan umum diterima secara meluas.
Tapi krisis kapitalis selama 25 tahun terakhir, dengan penyusutan tingkat profitnya, menginspirasikan para elit korporasi untuk menghidupkan kembali liberalisme. Inilah yang menjadikannya "neo" atau baru. Kini, dengan globalisasi ekonomi kapitalis yang pesat, kita menyaksikan neo-liberalisme dalam skala global.
Definisi yang berkesan tentang proses ini datang dari Subcomandante Marcos di Encuentro Intercontinental por la Humanidad y contra el Neo-liberalismo (Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusiaan dan Melawan Neo-liberalisme) pada Agustus 1996 di Chiapas ketika ia mengatakan: "apa yang ditawarkan kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi sebuah mal besar di mana mereka dapat membeli kaum Indian di sini, perempuan di sana..." dan ia dapat juga menambahkan, anak-anak, imigran, pekerja atau bahkan seluruh negeri seperti Meksiko."
Pokok-pokok pemikiran neo-liberalisme mengandung:
1. KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang." Itu seperti ekonomi "sisi persediaan" (supply-side)dan "tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan Reagan -- tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.
2. MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air -- lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.
3. DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.
4. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.
5. MENGHAPUS KONSEP "BARANG PUBLIK" atau "KOMUNITAS" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab individu." Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka -- kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena "malas."
Di penjuru dunia, neo-liberalisme didesakkan oleh institusi-institusi finansial besar seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Ia merajalela di penjuru Amerika Latin. Contoh pertama pelaksanaan neoliberalisme secara terang-terangan terdapat di Chile (berkat pakar ekonomi Universitas Chicago, Milton Friedman), setelah kudeta dukungan-CIA terhadap rejim Allende yang dipilih rakyat pada 1973. Negeri-negeri lainnya menyusul, dengan sebagian dampak terburuknya di Meksiko, di mana upah menurun 40-50% dalam tahun pertama NAFTA sementara biaya hidup naik 80%. Lebih dari 20.000 bisnis kecil dan sedang menderita kebangkrutan dan lebih dari 1000 perusahaan milik negara diprivatisasi di Meksiko. Sebagaimana dikatakan oleh seorang akademisi "Neoliberalisme berarti neo-kolonisasi Amerika Latin."
Di Amerika Serikat neo-liberalisme menghancurkan program-program kesejahteraan; menyerang hak-hak buruh (termasuk semua pekerja migran); dan memangkas program-program sosial. "Kontrak" Partai Republikan terhadap Amerika adalah murni neo-liberalisme. Para pendukungnya bekerja keras menolak perlindungan terhadap anak-anak, pemuda, perempuan, planet itu sendiri -- dan mencoba menipu kita agar menerimanya dengan mengatakan bahwa ini akan "menyingkirkan beban pemerintah dari pundak saya." Pihak yang diuntungkan oleh neo-liberalisme hanyalah minoritas rakyat dunia. Bagi mayoritas besarnya ia membawa lebih banyak penderitaan daripada sebelumnya: menderita tanpa capaian kecil yang susah payah dimenangkan dalam 60 tahun terakhir, penderitaan tiada henti.
-------------
Elizabeth Martinez telah lama dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil dan penulis beberapa buku termasuk "500 Years of Chicano History in Photographs."
Arnoldo Garcia adalah anggota Comite Emiliano Zapata yang bermarkas di Oakland dan berafiliasi dengan Komisi Nasional untuk Demokrasi di Meksiko.
Kedua penulis adalah anggota Jaringan Nasional untuk Hak-hak Imigran dan Pengungsi; mereka juga menghadiri Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusian dan Melawan Neoliberalisme, yang digelar 27 Juli - 3 Agustus 1996 di La Realidad, Chiapas

Diterjemahkan dari http://www.corpwatch.org/article.php?id=376

JANGAN RENGGUT HAK KESEHATAN SI MISKIN



Ungkapan satiris bahwa orang miskin dilarang sakit bukanlah kata-kata kosong. Apabila tak ada uang, sakit sungguh mencekik leher. Pasien dan keluarganya sama-sama menderita.
Bolak-balik dari rumah ke rumah sakit terasa berat diongkos. Belum lagi proses pengobatan yang kerap tertunda lantaran ketiadaan biaya.
Aura (7 bulan), misalnya, tertunda empat bulan sebelum diberangkatkan dari kampungnya di Desa Pangkal Bulu, Kecamatan Payung, Provinsi Bangka Belitung, ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta. Bayi pasangan Otan (32) dan Surya (28) itu diketahui mengalami hidrosefalus (pembesaran kepala) sejak berumur tiga bulan.
Keterlambatan pengobatan mengakibatkan cairan makin menumpuk, membuat kepala Aura terus membesar. Dengan kondisinya itu, Aura kini susah bersuara, apalagi menangis.
Mereka bertolak ke Jakarta berbekal uang Rp 5 juta hasil pinjaman dari sanak keluarga dan selembar kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Selain biaya berobat bagi Aura, keluarga buruh tani ini juga harus mengeluarkan biaya perjalanan dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari di Jakarta.
Ongkos hidup terasa makin berat karena mereka tak tertampung di rumah singgah RSCM. Biaya tinggal di rumah singgah ini ringan, hanya Rp 15.000 per hari. Namun, dengan kapasitas 84 tempat tidur, pengantrenya bisa ratusan orang.
”Semula kami berencana tinggal di masjid RSCM. Namun, karena kasihan dengan bayi, kami memilih mencari rumah kos,” kata Otan.
Masalah keuangan juga menyebabkan orangtua bayi hidrosefalus lainnya, Mohammad Toriq (2 bulan), memilih bermalam di Masjid Asyifa, RSCM. Toriq akhirnya mendapatkan perhatian pihak rumah sakit setelah media massa memberitakannya. Sementara Aura, atau Toriq lain bersama keluarganya, tetap harus berupaya keras mengelola sedikit uang untuk mencari pondokan dan makan.
Rumah kos murah bagi pasien rawat jalan ataupun keluarga yang menunggui memang menjamur di sekitar rumah sakit. Sejumlah keluarga di sekitar RSCM menawarkan kamar di rumah mereka. Aura mendapatkan kamar berukuran 3 meter x 2 meter di rumah milik Ibu Ika, Jalan Kimia Ujung, dengan tarif Rp 600.000 per bulan.
Di beberapa rumah kos ada fasilitas dapur sehingga keluarga pasien bisa memasak dan mengirit uang makan. Di kos-kosan mungil itu berjejalan pasien dan keluarganya. Kebersihan—apalagi kondisi steril yang dibutuhkan pasien sembari menunggu jadwal operasi ataupun pemeriksaan rutin di rumah sakit—sering terabaikan. Tidak jarang sakit pasien justru makin parah dan keluarga yang menunggu pun turut sakit.
”Saya kena flu dan batuk sudah tiga hari. Paling cuma minum obat dari warung. Yang penting tetap bisa nungguin anak saya ini,” kata Nining (51) asal Lampung yang mendampingi putrinya, Raudah (34), penderita tumor yang tengah berobat jalan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Mereka berdua kini menghuni rumah kos Uti (46) dengan membayar Rp 25.000 per hari.
”Memang menambah uang masuk, tetapi banyak orang yang tidak punya uang hanya membayar ala kadarnya. Karena kasihan, ya, tetap ditampung,” kata Uti, pemilik rumah kos di belakang RS Fatmawati.
Tak tertangani
Duka pasien miskin pernah mengemuka pada tahun 2008. Saat itu, sekitar 30 pasien dan keluarga pasien miskin di RSCM memilih tinggal di salah satu bangunan kosong di rumah sakit tersebut. Saat bangunan direnovasi, mereka pun terusir.
Terlunta-lunta, puluhan orang itu ditampung di lantai dasar Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tepat di seberang RSCM. Pasien penderita tumor hingga kakek-kakek penderita gagal ginjal yang harus selalu menggunakan kateter terpaksa tidur di lantai beralas tikar.
Akhirnya, beberapa dermawan menampung mereka di sebuah rumah layak di Menteng. Angkutan menuju dan pulang ke RSCM untuk pemeriksaan rutin turut disediakan. Akan tetapi, harus disadari, hanya kasus 30 orang yang telantar itu saja yang terselesaikan. Sementara kasus serupa masih ratusan, bahkan ribuan, di luar sana.
Sepanjang 2008 tersebut, LBH Jakarta, LBH Kesehatan, dan beberapa organisasi kemasyarakatan lain beberapa kali mendesak pemerintah agar memperbaiki pelayanan kesehatan bagi si miskin. Namun, tuntutan itu tak pernah benar-benar dipenuhi. Hingga kini!
Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), misalnya, menerima laporan dan mengadakan investigasi sejak Juni 2009 hingga awal tahun 2010. Hasilnya, ada beberapa kasus penggelembungan biaya perawatan warga miskin. Ada pula kasus pembayaran ilegal untuk mendapatkan kamar perawatan di rumah sakit pemerintah tertentu, biaya kursi roda, membeli alat kesehatan atau obat, laboratorium, dan uang muka perawatan.
Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan mempertanyakan kapan pemerintah menindak tegas segala bentuk penyelewengan pelayanan kesehatan bagi warga miskin serta memperbaiki sistem yang ada agar nasib mereka tak lagi terabaikan. Pembiaran terhadap buruknya pelayanan kesehatan bagi si miskin sama artinya dengan merenggut hak hidup mereka.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Komunitas Warna Warni | Bloggerized by Otak Kiri - Otak Kiri